ANAK adalah anugerah
sekaligus amanah yang diberikan Allah kepada para orang tua. Berbagai cara dan
upaya dilakukan orang tua agar dapat melihat anak-anaknya tumbuh kembang
sebagaimana mestinya. Namun, akhir-akhir ini para orang tua dihantui oleh
maraknya isu penculikan yang konon dilakukan orang-orang yang tergabung dalam
aksi kejahatan dengan menyaru sebagai orang gila atau pengemis untuk
melancarkan aksinya agar masyarakat tak curiga.
Penculikan anak yang
sekarang menjadi trending topic atau hal yang sedang hangat dibicarakan di
Indonesia, khususnya di Aceh, cukup membuat orang tua resah gelisah. Keresahan
warga tidak hanya di dunia nyata, tetapi mereka juga ikut “curhat” di dunia
maya, sehingga orang tua lainnya bertambah gelisah dengan banyaknya info dan
berita-berita yang membuat orang tua harus lebih ekstra menjaga anaknya dan
waspada kepada orang yang tak dikenal.
Sempat saya baca di salah
satu media bahwa harga jual anak saat ini mencapai harga fantastis atau Rp 5
miliar. Mungkin karena nilainya yang tinggi inilah sehingga pelaku kejahatan
nekat melakukan penculikan anak. Lemah dan kurangnya penjagaan atau pengawasan
terhadap anak, khususnya di Aceh, membuka peluang bagi pelaku kejahatan untuk
beraksi.
Jika kita lihat keseharian
anak-anak kita belakangan ini, mereka sepertinya lebih banyak menghabiskan
waktu di sekolah daripada di rumah. Sepulang sekolah atau saat bermain, itu
adalah waktu-waktu yang rawan bagi anak-anak kita untuk dijadikan target oleh
para predator anak untuk mencari mangsa.
Kadangakala ada sebagian
orang tua yang hanya mengantar saja anaknya ke sekolah, tapi tidak lagi
menjemputnya. Dengan kata lain, membiarkan si anak pulang sendiri. Mungkin
karena orang tua sibuk atau belum pulang kerja. Anak-anak yang tidak sedang
berada dalam pengawasan orang tua dan gurunya inilah rawan diculik.
Nah, jika kita bandingkan
anak-anak di Cina dengan anak-anak di Aceh dan Indonesia umumnya yang masih
duduk di bangku sekolah dasar, sangatlah jauh berbeda. Contohnya saja saya,
sewaktu kecil kadang pulang sekolah langsung pergi main dengan teman-teman
kecil lainnya tanpa pengawalan dari orang tua. Tetapi berbeda sangat dengan
anak-anak Cina. Di satu sisi bisa saya katakan masa kecil anak-anak Aceh lebih
bahagia daripada masa kecil anak-anak Cina. Namun di sisi lain, keamanan
anak-anak Aceh sekarang ini dengan maraknya isu penculikan, terkesan sangat
tidak baik karena minim pengawasan orang tua.
Di Tiongkok justru, pada
saat penjemputan anak-anak, para wali murid tidak bisa masuk ke dalam
pekarangan sekolah dengan leluasa. Mereka harus antre dengan rapi menunggu si
buah hatinya ke luar dari pintu sekolah yang dijaga ketat oleh satpam
(security).
Di samping sekolah yang
terjaga ketat, area lainnya juga dijaga oleh pihak keamanan setempat atau
polisi. Di berbagai sisi kota dan sekolah juga dipasang kamera CCTV, termasuk
di lorong-lorong yang dianggap rawan kejahatan, untuk memantau keadaan. Pihak
keamanan pun bekerja setia pada perintah atasannya dalam menjalankan tugas.
Jika kita hendak masuk ke
pekarangan sekolah, tetap tidak diizinkan, kecuali karena alasan sangat
tertentu. Tembok pagar yang tinggi dan pintu ke luar-masuk yang memiliki system
card juga dijaga dengan ketat oleh security sekolah tersebut.
Jika kita lihat dan
bandingkan dengan sekolah-sekolah kita di Aceh, sistem pengamanannya tidak
seketat di Tiongkok. Di samping penjagaan ketat oleh pihak keamanan, kepada
anak-anak di sini juga ditanamkan sifat untuk tidak mudah percaya kepada
mosheng ren atau orang yang tak dikenal. Jadi, kalau didekati atau diajak
ngobrol oleh orang asing, mereka sangat berhati-hati atau bahkan menghindar.
Saat anak-anak yang masih
perlu penjagaan dari orang tua ini masuk sekolah, maka sepenuhnya tanggung
jawab pihak sekolah. Begitu pula saat di luar sekolah anak-anak tidak lepas
dari penjagaan orang tua atau kakek neneknya.
Sistem antar jemput
anak-anak oleh orang tua atau kakek neneknya ke sekolah di negara yang
menggunakan sumpit pada saat makan ini menandakan mereka benar-benar menjaga
buah hati mereka. Apalagi mereka tak punya banyak anak atau cucu. Setiap
anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar ke mana-mana ditemani oleh orang
tua atau neneknya. Ini langkah antisipatif warga Tiongkok agar anak-anak usia
sekolah tidak mudah diculik. Semoga kewaspadaan serupa juga tumbuh di kalangan
orang tua di Aceh.
OLEH HELMI SUARDI, alumnus
UIN Ar-Raniry, kuliah pada Program Master Jurusan Developmental and Educational
Psychology di Huazhong Keji Daxue, melaporkan dari Tiongkok
Pernah diposting di http://aceh.tribunnews.com/2017/03/26/sekolah-di-tiongkok-jaga-ketat-anak-didik
EmoticonEmoticon