Desa Seunebok Padang



Seunebok Padang adalah sebuah desa dimana desa tersebut terletak di kecamatan teunom kabupaten aceh jaya, yang pada tahun 2004 dilanda Tsunami yang dahsyat, dalam kejadian tersebut banyak memakan korban jiwa, korban yang paling banyak itu terdiri dari anak-anak 0rang tua dan perempuan. setelah Tsunami manusia mulai lagi berusaha untuk mencari rejeki untuk kelengkapan hidupnya. dan pada tahun 2010 warga desa seuneubok padang sudah mulai ada kemajuan sedikit-demi sedikit sampai sekarang. Untuk sekarang ini yaitu tahun 2015 masyarakat Seuneubok padang sudah mulai bercocok tanam tanaman tua yaitu kelapa sawit. dan ini desa seuneubok adang sudah mulai memikirkan masa depan dan move on dari masa lalu yang suram dan mengerikan tersebut. 
Murji’ah Sejarah dan Pemikirannya

Murji’ah Sejarah dan Pemikirannya


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam. Perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fiqih dan aliran-lairan teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi di kalangan umat Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masing- masing kelompok, ulama dari kedua kelompokpun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan.
Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkan haq dan kebenaran pada kelompok yang ini atau itu. Aliran Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khawarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertaubat.
Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculaan syi’ah dan khawarij[1]. Pada mulanya kaum Murji’ah merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan- pertentangan yang terjadi ketika itu dan menyerahkan penentuan hukum kafir atau
tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan[2].
Pada mulanya kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khalifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah Usman bin Affan mati terbunuh. Munculnya permasalahan ini perlahan-lahan menjadi permasalahan tentang ketuhanan. Oleh karena itu, akan membahas tentang Murji’ah dan perkembangan pemikirannya dalam mewarnai pemahaman ketuhanan dalam Agama Islam.

B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, banyak persoalan atau permasalahan menarik dan perlu dikaji dari pembahasan “Murji’ah”. Adapun permasalahannya sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah paham Murjiah ?
2.      Bagaimana pembagian kelompok Murjiah ?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh Murji’ah ?
4.      Bagaimana Pokok Pemikiran dan Aqidah Murjiah ?

C.    TUJUAN PENULISAN

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah, secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini adalah ingin memaparkan tentang Murji’ah . Tujuan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tujuan khusus, yaitu sebagai berikut :
1.      Ingin mengetahui bagaimana sejarah paham Murjiah.
2.      Ingin pembagian kelompok Murji’ah.
3.      Ingin mengetahui tokoh-tokoh Syi’ah.
4.      Ingin mengetahui pokok pemikiran dan aqidah Murji’ah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Paham Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata “arja’a” yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni, memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah[3].
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman baginya.
 Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari pembalasan tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan seseorang. Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan di dalam hatinya, apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).

1.      Awal Kemunculan Kelompok Murji’ah

Asal usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu:

a)      Permasalahan Politik
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amru bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuata dosa besar yang lain[4].
Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.
Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.
Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.
b)     Permasalahan Ke-Tuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak1[5].
Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang
tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.
Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kata Murji’ah itu sendiri yang berasal dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan, dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang melakukan dosa di hadapan Tuhan.
Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengaharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga[6].
B.     Pembagian Kelompok Murji’ah
Pada umunmnya kaum Murji’ah di golongkan menjadi dua golongan besar, yaitu Golongan Moderat dan golongan Ekstrim.

1.    Golongan Moderat
Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Golongan Murji’ah yang moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadits. Menurut golongan ini, bahwa orang islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberikan definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rasul-rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, tidak ada perbedaan manusia dalam hal iman.
Dengan gambaran serupa itu, maka iman semua orang islam di anggap sama, tidak ada perbedaan antara iman orang islam yang berdosa besar dan iman orang islam yang patuh menjalankan perintah-perintah Allah. Jalan pikiran yang dikemukakan oleh Abu Hanifah itu dapat membawa kesimpulan bahwa perbuatan kurang penting dibandingkan dengan iman.
2.     Golongan Murji’ah Ekstrim
Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap kelompok ini dapat dijelaskan sebagi berikut:
a)        Kelompok al-Jahmiyah
Adapun golongan Murji’ah ekstrim adalah Jahm bin Safwan dan pengikutnya disebut al-Jahmiah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi degan menyembah berhala atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah. Dan orang yang demikian bagi Allah merupakan mukmin yang sempurna imannya[7].

b)       Kelompok Ash-Shalihiyah
Bagi kelompok pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi iman adalah megetahui Tuhan dan Kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka sembahyang tidaklah ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadat adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan.Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan[8].
c)        Kelompok Al-Yunusiyah dan Kelompok Al-Ubaidiyah
Melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan- perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist).
Kaum Yunusiyah yaitu pengikut- pengikut Yunus ibnu ’Aun an Numairi berpendapat bahwa ”iman” itu adalah mengenai Allah, dan menundukkan diri padanya dan mencintainya sepenuh hati. Apabila sifat-sifat tersebut sudah terkumpul pada diri seseorang, maka dia adalah mukmin. Adapun sifat-sifat lainnya, seperti ”taat” misalnya, bukanlah termasuk iman, dan orang yang meninggalkan bukanlah iman, dan orang yang meninggalkan ketaatan tidak akan disiksa karenanya, asalkan saja imannya itu benar-benar murni dan keyakinannya itu betul- betul benar
d)       Kelompok Al-Hasaniyah
Kelompok ini mengatakan bahwa, ”saya tahu tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian juga tetap mukmin.


C.    Perbedaan Murji’ah Ekstrem dan Moderat
Murji'ah Ekstrim bahwa iman adalah pengakuan dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Murji'ah Ekstrim berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar sekalipun menyatakan kekufurannya secara lisan.
Sedangkan menurut ajaran Murji'ah Moderat, bahwa iman itu merupakan pengakuan dalam hati (tasdiq bi al-qalb) dan pengakuan dengan lidah (iqrar bi al-lisan). Murji'ah Moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar menurut mereka tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka. Kalau Tuhan mengampuninya ia bebas dari neraka, kalau tidak mendapat ampunan maka ia masuk neraka.


D.    Tokoh-tokoh Faham Murji’ah       
          Beberapa buku dan keterangan para ulama  menyatakan bahwa di antara tokoh-tokoh faham Murji’ah  adalah sebagai berikut :
1.      Al Hasan bin Muhammad bin Al Hanafiyah
2.      Ghiilan al- Dimayqi
3.      Jahm bin Shafwan
4.      Abu Hanifah

E.     Pokok Pemikiran dan Aqidah Murji’ah

Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’ atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun persoalan teologis. Dibidang politik, doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah di kenal pula dengan The Queitists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik[9].

1.          Iman itu adalah tashdiq saja atau pengetahuan hati saja atau iqrar saja.
Amal itu tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak pula masuk dalam bagiannya.
2.         Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
3.         Orang yang berbuat maksiat tetap dikatakan Mu’min kamilul Iman ( mukmin yang sempurna imannya) sebagaimana sempurnanya tashdiq mereka (tidak dapat tergoyahkan dengan apapun) dan di akhirat kelak ia tidak akan masuk neraka.
4.         Manusia itu pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat melihatnya diakhirat nanti. (Ini seperti pemahaman Mu’tazilah).
5.         Sesungguhnya Imamah itu tidak wajib, kalaupun Imamah itu ada, maka Imamnya itu boleh datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy. (dalam masalah ini pemahamannya seperti Khawarij).
6.         Bodoh kepada Allah itu adalah kufur kepada-Nya.[10]
7.         I’tiqad menangguhkan, yakni menangguhkan orang yang bersah sampai ke muka tuhan pada hari kiamat[11].

Orang-orang Murji’ah mengatakan bahwa Iman  adalah amalan hati saja atau amalan lisan saja atau kedua-duanya  bukan amalan yang bermakna rukun (amalan dzahir), serta iman itu tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Sampai-sampai perbuatan kafir pun  tidak membahayakan bagi keimanan seorang muslim.
          Dalam  madzhab Abu Hanifah  iman itu hanya sampai  pada pembenaran dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan, maka yang satu tidak berguna bagi  yang lainnya, barang siapa yang beriman dengan hatinya tapi berdusta/kafir dengan lisannya, maka bukanlah seorang mukmin.
          Shahibul kitab Al Inhirafaat Al Aqdiyah wa al Al’amaliyah menerangkan bahwa orang-orang Murji’ah mejadikan arkanul Islam sebagai bagian yang paling besar dari iman kepada Allah azza wa jalla disejajarkan dengan syahidusy syuhud atau qarinah-qarinah dhahir yang faktanya justru mereka menyelisihinya sampai-sampai terucap perkataan dari lisan mereka:    “Sesungguhnya orang yang mencela Allah, membunuh Rasul-Nya, maka ia tetap dikategorikan sebagai orang mukmin dan tidak akan menjadi kafir (dari sisi batin) kecuali ilmu batinnya (iman) telah hilang dari hatinya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Telah datang kepada kalian al-Quran dan as-Sunnah yang mengkafirkan ilmu dan tashdiq batin kalian, karena ilmu dan tashdiq kalian tidak disertai keyakinan di hati dan ikrarkan dengan lisan”. Maka mereka menjawab: “Siapa yang dapat mendatangkan nash/hujjah yang mencounter ilmu kami? Yaitu mengcounter berdasarkan nash,  bukan dengan analisa/pandangan dan pemahaman semata!” Disamping itu kami tetap tidak dapat mengkafirkannya meskipun kami mengetahui hukumannya secara dhahir.
          Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Berdasarkan keterangan di atas tampak jelas kesalahan perkataan Jahm bin Shafwan beserta pengikutnya, mereka mengira bahwa iman cukup hanya dengan pembenaran dan pengetahuan hati, dengan tidak menjadikan amalan-amalan hati termasuk dari bagian iman, sehingga mereka menyangka bahwa seseorang akan menjadi mukmin kaamilul iman hanya dengan hati saja, di sisi lain ia mencela Allah, Rasul-Nya, membunuh wali-wali-Nya, loyal terhadap musuh-musuh Allah, membunuh para Nabi, menghancurkan masjid-masjid, menghina mushaf (al-Quran), memuliakan orang-orang kafir dengan kemuliaan sedemikian rupa, menghina orang-orang mukmin dengan kehinaan sedemikian rupa, dengan perasaan ringan mereka mengatakan: “Semua ini adalah perbuatan maksiat namun semua itu tidak dapat menghilangkan iman yang sudah tertancap dalam hati, bahkan perbuatan seperti ini menurut Allah tetap dikatakan sebagai mukmin kalau iman  benar-benar sudah ada di hati.”[12]

Berkaitan  dengan Murji’ah, W. Montgomery Watt  merincinya sebagai berikut[13]:

1.      Penangguhan keputusan Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat.
2.      Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Al- Khalifah Ar-Rasyidin.
3.      Pemberian harapan (giving hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Sedangkan doktrin pemikiran Murji’ah yang lain, seperti batasan kufur, para pengikut Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Secara garis besar pemikiran dapat dijelaskan menurut kelompok Jahamiyah: bahwa kufur merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati ataupun, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT[14].

  1. Perbedaan antara Paham Ahlussunnah dan Murjiah
Ahlussunnah Wal Jama’ah
Murji’ah
1.      Rukun iman 6 (enam)
2.      Berbuat dosa haram walaupun sudah beriman
3.      Orang yang bersalah harus di hukum di dunia ini
4.      Dan lain-lain.
1.      Rukun iman hanya mengenal Tuhan dan Rasul-Nya.
2.      Berbuat dosa itu tidak apa-apa kalau sudah mengenal Tuhan dan Rasul-Nya.
3.      Orang yang bersalah harus ditangguhkan sampai kemuka Tuhan.
4.      Dan lain-lain


  1. Hujjah yang digunakan Murji’ah
          Murji’ah mengambil nash sebagai dalil untuk menguatkan madzhab mereka dan  menjadikan keragu-raguan pada nash tersebut, kemudian mereka menguatkan syubhatnya  dengan  taklif yang tidak dibenarkan  syari’at. Akhirnya  menghasilkan kesimpulan yang dipaksa-paksakan bahwa amal perbuatan bukan bagian dari hakekat iman. Mereka menyingkirkan seluruh amal dari iman dan mengatakan cukuplah seseorang sudah dianggap beriman dan sukses menggapai ridha Allah SWT dengan cara menjadikan hati mengenal Allah dan mempercayai-Nya.
Dengan demikian mereka telah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pelaku kebatilan dan pemalas untuk sekedar berangan-angan tanpa ada amalan nyata. Mereka  adalah orang-orang yang suka berlepas diri dari nash syar’i, maka akan engkau dapatkan Murji’ah yang ekstrim, di antara mereka ada orang yang sangat malas dalam beribadah dan selemah-lemahnya manusia dalam  beriltizam kepada Syariat  Islam. Mereka telah mencari dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mereka kira bahwa dalil tersebut menunjukkan atas keabsahan  madzhab mereka, yaitu:

     A. Dalil dari  Al-Qur’an:
1. Firman Allah:
إِنَّ اللهَ لا َيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآء   
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.” [15]
2. Firman Allah:
قُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ 
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[16]
3. Mereka  layaknya Jahmiyyah yang telah memperhatikan  pengumpulan nash yang menjadikan  keimanan dan kekufuran seluruhnya terletak  pada hati. Sebagaimana firman Allah:
1.  أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ 
"Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan.”[17]
2.  إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ
"Kecuali orang-orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)."[18]
3.  خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ
"Allah telah mengunci mati hati mereka."[19]
Juga masih banyak lagi ayat-ayat semisal yang secara dhahir dalam pengertian ini yang diambil oleh orang-orang Murji’ah untuk digunakan sebagai penguat madzhab mereka meskipun sebenarnya ayat-ayat itu tidak cocok serta tidak sesuai dengan apa yang mereka maksudkan itu.


B. Dalil dari Sunnah
Mereka berhujjah dengan sebagian hadits dan atsar, yang secara dhahir menunjukkan atas  perintah untuk menjauhi syirik  dan keberadaan iman  dalam  hati  seseorang untuk menggapai kejayaan dan  keridhaan Allah SWT.
1.  Rasululllah SAW bersabda:
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئا دَخَلَ النَّارَ.   قَالَ إِبْنُ مَسْعُوْدٍ:  وَقُلْتُ أَنَّا مَنْ مَاتَ  لَا يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu maka ia akan masuk neraka”,  Ibnu Mas’ud berkata: “Saya katakan: "Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah maka ia masuk Jannah.” [20]
2.  Dalam hadits qudsi  Rasulullah SAW meriwayatkan dari ِAllah:  
يَا ابْنُ أَدَ مَ اِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِيْ  بِقِرَابِ اْلَأرْضِ خَطَايًا ثُمَّ لَقَيْتَـــنِيْ لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَ تَـيْتُــكَ  بِقِرَابِهَا   مَغْفِرَةً 
“Hai anak Adam, sesungguhnya jika kamu mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian menemui Aku tanpa berbuat syirik  sedikit pun, sungguh Aku akan mendatangimu dengan maghfirah yang sebanding.”[21]  
3.  Nabi SAW bersabda:
اللَّهُمَّ ثّبِّتْ قَـْلبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
 “ Ya  Allah, tetapkanlah hatiku pada dien-Mu.”[22]
4. Demikian juga dalam hadits  yang mengisahkan tentang seorang budak perempuan  yang ditanya oleh Rasullah SAW dengan sabdanya: “Di mana Allah?”  Maka jawabnya: “Di langit”, Maka Rasullah SAW berkata kepada tuannya:  “Bebaskanlah dia karena dia adalah seorang Mu’minah.”[23]
5.    Rasululllah  SAW bersabda:
“Taqwa itu ada di sini, seraya menunjuk pada dadanya tiga kali.”[24]
6. Dan  termasuk dalil mereka juga ialah  tentang hadits syafa’ah dari Rasulullah SAW kepada  beberapa kaum  yang kemudian Allah mengeluarkan mereka  sampai  tiada sebiji atom atau sebiji gandum atau sebiji tepung pun iman yang tersisa  dalam hatinya, Di dalamnya terdapat  potongan sabda beliau SAW: “Maka Allah  berfirman, bahwa malaikat telah memberi syafa’at, para Nabi pun memberi syafa’at, demikian juga  para mukmin dan tiada yang tertinggal  kecuali pasti memberikan rahmatnya. Maka dikeluarkanlah satu kaum  dari neraka yang mana mereka belum pernah melakukan  sebuah kebajikan sama sekali kemudian mereka masuk sebuah tempat pemandian lalu dimasukkan ke dalam sebuah sungai yang berada di mulut syurga yang dinamai dengan  Nahrul hayat. Lalu mereka keluar dari sungai tersebut seperti  sebuah biji  yang terbawa ombak....”,  sampai pada  sabda beliau: “Maka keluarlah mereka seperti  permata,  yang pada  lutut mereka ada cincin yang bisa  dikenal oleh  penghuni syurga. Mereka itulah orang-orang yang Allah bebaskan dan masukkan ke dalam syurga  tanpa amal dan  tanpa kebaikan.”[25]
Orang-oang Murji’ah berdalil dengan hadits ini untuk menguatkan  faham mereka  dengan  mengambil ungkapan dari hadits di atas:
1.        Mereka sama sekali belum pernah berbuat  amal baik.
2.        Mereka adalah orang-orang yang  Allah bebaskan, kemudian dimasukkan  kedalam syurga   tanpa sebuah amal yang mereka kerjakan .
Kemudian  orang Murji’ah  berkomentar, kalau saja  mereka bisa masuk syurga tanpa amalan sedikit pun, lalu bagaimana kalau mereka punya amalan?. Maka jawabnya  menurut mereka  adalah bahwa  mereka itu masih menyisakan  tashdiq  dan hal tersebut bermanfaat bagi mereka  tanpa harus melihat pada  amalan karena  hakekat iman  itu menurut Murji’ah adalah tidak sampai pada amalan.
7. Dan termasuk syubhat yang mereka  pergunakan juga ialah  bahwa  amalan  bukan  termasuk  dalam iman, sesuai dengan pendapat mereka:
  1. Kafir itu berlawanan dengan iman. Maka selama ada kekafiran, keimanan akan hilang dan demikian juga sebaliknya.
  2. Ada banyak nash yang menerangkan tentang pemalingan amalan atas iman.
8.        Sedangkan dalil  para pengikut Hanafi adalah: bahwasanya iman ialah perkataan dan i’tikad  saja sedangkan amalan tidak termasuk di dalamnya, cukuplah amalan itu hanya sebagai  bagian dari syari’at Islam yang apabila seseorang melakukan sebuah kemaksiatan maka berkuranglah syari’at Islamnya dan amalan bukanlah termasuk tashdiq terhadap Islam. dalil mereka  adalah:
  1. Bahwa yang dimaksud iman secara bahasa ialah tashdiq saja, sedangkan amal badan  tidak disebut  sebagai bagian dari iman.
  2. Andaikata  amalan itu merupakan bagian dari iman dan tauhid niscaya wajib dihukum di saat  tiada iman bagi orang yang kehilangan  sebagian dari  amalannya. Dan dalam hal ini Imam Abu Hanifah  berkata  dalam  bukunya (Al Washiyyah): “Amalan itu bukan merupakan bagian dari iman dan iman itu bukanlah amalan”, dengan dalil bahwa banyak  waktu yang mengangkat amalan dari seorang mukmin. Pada saat itu tidak boleh  dikatakan bahwa imannya hilang. Maka seorang wanita yang haidh yang dicabut darinya  kewajiban shalat,  tidak boleh dikatakan bahwa imannya juga dicabut.”[26]
BAB III
KESIMPULAN
Kemunculan aliran Murji’ah dalam sejarah perkembangan ilmu teologi dalam islam, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan politik pada masa itu, yang dimulai dari pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Aliran Murji’ah merupakan aliran yang berusaha bersikap netral atau nonblok dalam proses pertentangan yang terjadi antara kaum Khawarij dengan kaum Syi’ah yang telah masuk pada permasalahan kafir mengkafirkan.
Dan dalam perkembangannya Murji’ah ikut memberikan tanggapan dalam permasalahan ketentuan Tuhan dalam menetapkan seseorang telah keluar Islam atau masih mukmin. Tipe pemikiran yang dikembangkan oleh kaum Murji’ah adalah bahwa penentuan seseorang telah keluar dari Islam tidak bisa ditentukan oleh manusia tapi di tangguhkan sampai nanti di akhirat. Pembagian golongan Murji’ah dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu, golongan Murji’ah Moderat dan golongan Murji’ah Ekstrem.

Murji’ah mengambil nash sebagai dalil untuk menguatkan madzhab mereka dan  menjadikan keragu-raguan pada nash tersebut, kemudian mereka menguatkan syubhatnya  dengan  taklif yang tidak dibenarkan  syari’at. Akhirnya  menghasilkan kesimpulan yang dipaksa-paksakan bahwa amal perbuatan bukan bagian dari hakekat iman. Mereka menyingkirkan seluruh amal dari iman dan mengatakan cukuplah seseorang sudah dianggap beriman dan sukses menggapai ridha Allah SWT dengan cara menjadikan hati mengenal Allah dan mempercayai-Nya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Al-Asy’ari, Abul Hasan Isma’il. 1998.Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ghalib bin Ali Awaji. Firaaqul Mu’ashirah, cet. I th. 1414 H/1993 M
K. H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Jakarta : CV. Pustaka Tarbiyah, 2006.

Nasution, Harun..Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press. 1986

Http://n.1asphost.com/dannsbasayef/data/Murji'ah.doc di akses pada tanggal 16/ 12/ 2010




[1] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar.Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia,Bandung, 2007, hal: 56
[2] Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta:
1986. hal.  22
[3] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, cet. II. CV. Pustaka Setia Bandung:  2007, hal.56
[4] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar... hal. 57
[5] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar... hal.  57
[6] Harun Nasution… hal.  24
[7] Harun Nasution.... hal.  26
[8] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar.... hal.  61
[9] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar... hal.  58
[10] 1asphost.com/dannsbasayef/data/Murji'ah.doc di akses pada tanggal 16 desember 2010
[11] Siradjuddin Abbas, I’tiqad ahlussunnah Waljama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta:  2006, hal. 188
[12] 1asphost.com/dannsbasayef/data/Murji'ah.doc di akses pada tanggal 16 desember 2010
[13] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar... hal.  58
[14] Abul Hasan Isma’il al-Asy’ari,  Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, Bandung : CV Pustaka Setia, 1998. hal. 205

[15] . An Nisaa’ / 4 : 48
[16] . Az Zumar  / 39: 53
[17] . Al Mujadalah / 58: 22
[18] . An Nahl / 16 : 106
[19] . Al Baqaraah / 2 : 7
[20] . HR Bukhari dan Muslim, Shahih Muslim, hadits no. 268-269
[21] . HR. Imam Muslim
[22] . HR. Ahmad
[23] . HR. Ahmad  dan Muslim
[24] . HR. Muslim
[25] . HR. Muslim
[26] Ghalib Ali ‘Awaji. Firaqul  Muashirah,hal. 763-766