Kejayaan Islam Masa Dinasti Abbasiyah

Kejayaan Islam Masa Dinasti Abbasiyah


                                                            BAB I
 PENDAHULUAN

Bicara tentang kejayaan peradaban Islam di masa lalu, dan juga jatuhnya kemuliaan itu seperti nostalgia. Orang bilang, romantisme sejarah. Tidak apa-apa, terkadang ada baiknya juga untuk dijadikan sebagai bahan renungan. Karena bukankah masa lalu juga adalah bagian dari hidup kita. Baik atau buruk, masa lalu adalah milik kita. Kaum muslimin, pernah memiliki kejayaan di masa lalu. Masa di mana Islam menjadi trendsetter sebuah peradaban modern. Peradaban yang dibangun untuk kesejahteraan umat manusia di muka bumi ini.Masa kejayaan itu bermula saat Rasulullah mendirikan pemerintahan Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah di Madinah. Tongkat kepemimpinan bergantian dipegang oleh Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan seterusnya. Di masa Khulafa as-Rasyiddin ini Islam berkembang pesat. Perluasan wilayah menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya penyebarluasan Islam ke seluruh penjuru dunia. Islam datang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Penaklukan wilayah-wilayah, adalah sebagai bagian dari upaya untuk menyebarkan Islam, bukan menjajahnya. Itu sebabnya, banyak orang yang kemudian tertarik kepada Islam. Satu contoh menarik adalah tentang Futuh Makkah (penaklukan Makkah), Rasulullah dan sekitar 10 ribu pasukannya memasuki kota Makkah. Kaum Quraisy menyerah dan berdiri di bawah kedua kakinya di pintu Ka’bah. Mereka menunggu hukuman Rasul setelah mereka menentangnya selama 21 tahun. Namun, ternyata Rasulullah justru memaafkan mereka.

Begitu pula yang dilakukan oleh Shalahuddin al-Ayubi ketika merebut kembali Yerusalem dari tangan Pasukan Salib Eropa, ia malah melindungi jiwa dan harta 100 ribu orang Barat. Shalahuddin juga memberi ijin ke luar kepada mereka dengan sejumlah tebusan kecil oleh mereka yang mampu, juga membebaskan sejumlah besar orang-orang miskin. Panglima Islam ini pun membebaskan 84 ribu orang dari situ. Malah, saudaranya, al-Malikul Adil, membayar tebusan untuk 2 ribu orang laki-laki di antara mereka.Padahal 90 tahun sebelumnya, ketika pasukan Salib Eropa merebut Baitul Maqdis, mereka justru melakukan pembantaian. Diriwayatkan bahwa ketika penduduk al-Quds berlindung ke Masjid Aqsa, di atasnya dikibarkan bendera keamanan pemberian panglima Tancard. Ketika masjid itu sudah penuh dengan orang-orang (orang tua, wanita dan anak-anak), mereka dibantai habis-habisan seperti menjagal kambing. Darah-darah muncrat mengalir di tempat ibadah itu setinggi lutut penunggang kuda. Kota menjadi bersih oleh penyembelihan penghuninya secara tuntas. Jalan-jalan penuh dengan kepala-kepala yang hancur, kaki-kaki yang putus dan tubuh-tubuh yang rusak. Para sejarawan muslim menyebutkan jumlah mereka yang dibantai di Masjid Aqsa sebanyak 70 ribu orang. Para sejarawan Perancis sendiri tidak mengingkari pembantaian mengerikan itu, bahkan mereka kebanyakan menceritakannya dengan bangga.

Fakta ini cukup membuktikan betapa Islam mampu memberikan perlindungan kepada penduduk yang wilayahnya ditaklukan. Karena perang dalam Islam memang bukan untuk menghancurkan, tapi memberi kehidupan. Dengan begitu, Islam tersebar ke hampir sepertiga wilayah di dunia ini.Peradaban Islam memang mengalami jatuh-bangun, berbagai peristiwa telah menghiasi perjalanannya. Meski demikian, orang tidak mudah untuk begitu melupakan peradaban emas yang berhasil ditorehkannya untuk umat manusia ini. Pencerahan pun terjadi di segala bidang dan di seluruh dunia.Sejarawan Barat beraliran konservatif, W Montgomery Watt menganalisa tentang rahasia kemajuan peradaban Islam, ia mengatakan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan yang kaku antara ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran agama. Satu dengan yang lain, dijalankan dalam satu tarikan nafas. Pengamalan syariat Islam, sama pentingnya dan memiliki prioritas yang sama dengan riset-riset ilmiah.

Orientalis Sedillot seperti yang dikutip Mustafa as-Siba’i dalam Peradaban Islam, Dulu, Kini, dan Esok, mengatakan bahwa, “Hanya bangsa Arab pemikul panji-panji peradaban abad pertengahan. Mereka melenyapkan barbarisme Eropa yang digoncangkan oleh serangan-serangan dari Utara. Bangsa Arab melanglang mendatangi ‘sumber-sumber filsafat Yunani yang abadi’. Mereka tidak berhenti pada batas yang telah diperoleh berupa khazanah-khazanah ilmu pengetahuan, tetapi berusaha mengembangkannya dan membuka pintu-pintu baru bagi pengkajian alam.”

Andalusia, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam, telah melahirkan ribuan ilmuwan, dan menginsiprasi para ilmuwan Barat untuk belajar dari kemajuan iptek yang dibangun kaum muslimin. Jadi wajar jika Gustave Lebon mengatakan bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab, terutama buku-buku keilmuan hampir menjadi satu-satunya sumber-sumber bagi pengajaran di perguruan-perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam abad. Tidak hanya itu, Lebon juga mengatakan bahwa hanya buku-buku bangsa Arab-Persia lah yang dijadikan sandaran oleh para ilmuwan Barat seperti Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philipi, Raymond Lull, san Thomas, Albertus Magnus dan Alfonso X dari Castella.
Buku al-Bashariyyat karya al-Hasan bin al-Haitsam diterjemahkan oleh Ghiteleon dari Polska. Gherardo dari Cremona menyebarkan ilmu falak yang hakiki dengan menerjemahkan asy-Syarh karya Jabir. Belum lagi ribuan buku yang berhasil memberikan pencerahan kepada dunia. Itu sebabnya, jangan heran kalau perpustakaan umum banyak dibangun di masa kejayaan Islam. Perpustakaan al-Ahkam di Andalusia misalnya, merupakan perpustakaan yang sangat besar dan luas. Buku yang ada di situ mencapai 400 ribu buah. Uniknya, perpustakaan ini sudah memiliki katalog. Sehingga memudahkan pencarian buku. Perpustakaan umum Tripoli di daerah Syam, memiliki sekitar tiga juta judul buku, termasuk 50.000 eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Dan masih banyak lagi perpustakaan lainnya. Tapi naas, semuanya dihancurkan Pasukan Salib Eropa dan Pasukan Tartar ketika mereka menyerang Islam.

Peradaban Islam memang peradaban emas yang mencerahkan dunia. Itu sebabnya menurut Montgomery, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’nya, Barat bukanlah apa-apa. Wajar jika Barat berhutang budi pada Islam.Empat belas abad yang silam, Allah Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad saw sebagai panutan dan ikutan bagi umat manusia. Beliau adalah merupakan Rasul terakhir yang membawa agama terakhir yakni Islam. Hal ini secara jelas dan tegas dikemukakan oleh Al-Quran dimana Kitab Suci tersebut memproklamasikan keuniversalan misi dari Muhammad saw sebagaimana kita jumpai dalam ayat-ayat berikut ini:

“Katakanlah, “Wahai manusia , sesungguhnya aku ini Rasul kepada kamu sekalian dari Allah yang mempunyai kerajaan seluruh langit dan bumi. Tak ada yang patut disembah melainkan Dia.” (QS. 7:159).

“Dan kami tidaklah mengutus engkau melainkan sebagai pembawa kabar suka dan pemberi peringatan untuk segenap manusia…” (QS. 34:29).

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh umat…” (QS. 21:108).

Nabi Muhammad saw telah mengubah pandangan hidup dan memberi semangat yang menyala-nyala kepada umat Islam, sehingga dari bangsa yang terkebelakang dalam waktu yang amat singkat mereka, mereka telah menjadi guru sejagat. Umat Islam menghidupkan ilmu, mengadakan penyelidikan-penyelidikan. Fakta sejarah menjelaskan antara lain , bahwa Islam pada waktu pertama kalinya memiliki kejayaan, bahwa ada masanya umat Islam memiliki tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina di bidang filsafat dan kedokteran, Ibnu Khaldun di bidang Filsafat dan Sosiologi, Al-jabar dll. Islam telah datang ke Spanyol memperkenalkan berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu ukur, aljabar, arsitektur, kesehatan, filsafat dan masih banyak cabang ilmu yang lain lagi.Masa Kejayaan Islam Pertama telah menjadi bukti sejarah bahwa dengan mengamalkan ajaran al-Quran umat Islam sendiri akan menikmati kemajuan peradaban dan kebudayaan diatas bumi ini. Di masa Kejayaan Islam Pertama, pimpinan Islam berada di tangan tokoh-tokoh yang setiap orangnya patuh sepenuhnya dan setia kepada Nabi Muhammad saw, baik secara keimanan, keyakinan, perbuatan, akhlak, pendidikan, kesucian jiwa, keluhuran budi maupun kesempurnaan.
Pimpinan Umat Islam sesudah wafatnya nabi Muhammad saw, Abubakar, Umar, Utsman dan Ali adalah merupakan pemimpin-pemimpin duniawi dengan jabatan Khalifah, yang menganggap kedudukan mereka itu sebagai pengabdian pada umat Islam, bukan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan mutlak dan kemegahan. Dalam tiga abad pertama sejarah permulaaan Islam (650-1000M), bagian-bagian dunia yang dikuasai Islam adalah bagian-bagian yang paling maju dan memiliki peradaban yang tinggi. Negeri-negeri Islam penuh dengan kota-kota indah, penuh dengan mesjid-mesjid yang megah, dimana-mana terdapat perguruan tinggi dan Univesitas yang didalamnya tersimpan peradaban-peradaban dan hikmah-hikmah yang bernilai tiggi. Kecemerlangan Islam Timur merupakan hal yang kontras dengan dunia Nasrani Barat, yang tenggelam dalam masa kegelapan zaman.


                                                                 BAB II
                                                            PEMBAHASAN


a. Kejayaan Islam Masa Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang menguasai daulat (negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulat Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang melanjutkan kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman Nabi Muhammad saw. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah, nama lengkapnya yaitu Abdullah as-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial , dan budaya.

Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan pola politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:

1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia Pertama.

2. Periode Kedua (232 H/847 M – 234 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki Pertama.

3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M, masa kekuasaan Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia Kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M/ - 590 H/1194 M), masa kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki Kedua.

5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa Khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

Dalam zaman Daulah Abbasiyah, masa meranumlah kesusasteraan dan ilmu pengetahuan, disalin ke dalam bahasa Arab, ilmu-ilmu purbakala. Lahirlah pada masa itu sekian banyak penyair, pujangga, ahli bahasa, ahli sejarah, ahli hukum, ahli tafsir, ahli hadits, ahli filsafat, thib, ahli bangunan dan sebagainya. Zaman ini adalah zaman keemasan Islam, demikian Jarji Zaidan memulai lukisannya tentang Bani Abbasiyah. Dalam zaman ini, kedaulatan kaum muslimin telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan, ataupun kekuasaan. Dalam zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam, dan berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Masa Daulah Abbasiyah adalah masa di mana umat Islam mengembangkan ilmu pengetahuan, suatu kehausan akan ilmu pengetahuan yang belum pernah ada dalam sejarah.Kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan merefleksikan terciptanya beberapa karya ilmiah seperti terlihat pada alam pemikiran Islam pada abad ke-8 M. yaitu gerakan penerjemahan buku peninggalan kebudayaan Yunani dan Persia.

Permulaan yang disebut serius dari penerjemahan tersebut adalah sejak abad ke-8 M, pada masa pemerintahan Al-Makmun (813 –833 M) yang membangun sebuah lembaga khusus untuk tujuan itu, “The House of Wisdom / Bay al-Hikmah”. Dr. Mx Meyerhof yang dikutip oleh Oemar Amin Hoesin mengungkapkan tentang kejayaan Islam ini sebagai berikut: “Kedokteran Islam dan ilmu pengetahuan umumnya, menyinari matahari Hellenisme hingga pudar cahayanya. Kemudian ilmu Islam menjadi bulan di malam gelap gulita Eropa, mengantarkan Eropa ke jalan renaissance. Karena itulah Islam menjadi biang gerak besar, yang dipunyai Eropa sekarang. Dengan demikian, pantas kita menyatakan, Islam harus tetap bersama kita.” (Oemar Amin Hoesin)

Adapun kebijaksanaan para penguasa Daulah Abbasiyah periode 1 dalam menjalankan tugasnya lebih mengutamakan kepada pembangunan wilayah seperti: Khalifah tetap keturunan Arab, sedangkan menteri, gubernur, dan panglima perang diangkat dari keturunan bangsa Persia. Kota Bagdad sebagai ibukota, dijadikan kota internasional untuk segala kegiatan ekonomi dan sosial serta politik segala bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukim di dalamnya, ada bangsa Arab, Turki, Persia, Romawi, Hindi dan sebagainya.Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu hal yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah dan para pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada umumnya khalifah adalah para ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan memuliakan pujangga.

Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taklid, hal mana menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang, termasuk bidang aqidah, falsafah, ibadah dan sebagainya.Para menteri keturunan Persia diberi hak penuh untuk menjalankan pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina tamadun/peradaban Islam. Mereka sangat mencintai ilmu dan mengorbankan kekayaannya untuk memajukan kecerdasan rakyat dan meningkatkan ilmu pengetahuan, sehingga karena banyaknya keturunan Malawy yang memberikan tenaga dan jasanya untuk kemajuan Islam.


B. Kejayaan Islam Masa Dinasti Umayyah.

Sepeninggal kholifah Ali bin Abi Tholib (656-661), sebagian masyarakat Islam di Arab, Irak dan Iran memilih dan mengangkat Hasan bin Ali. Beliau memerintah +  3 bulan, setelah itu jabatannya dialihkan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, karena beliau menyadari kelemahan dan kekurangan dalam kepemimpinannya, dia berfikir Muawiyah yang lebih cocok untuk memimpin Umat Islam.Pada tahun 661 M, terjadilah perpindahan kekuasaan dari Hasan kepada Muawiyah. Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kuffah, kemudian dikenal dalam sejarah Islam dengan istilah “Amul Jama’ah”.

            Perpindahan kekuasaan kepada Muawiyah ibn Sufyan telah mengakgiri bentuk pemerintahan yang demokratis. Kekholifahan ini menjadi semacam monarchi absolut. Dan kekholifahan ini bertahan + sampai 90 tahun, dimulai dari tahun 661 – 750 M. Selama masa pemerintantahan bani Umayyah telah berkuasa sebanyak 14 khalifah dan diantara khalifah yang berhasil dalam menjalankan roda pemerintahan adalah ;


1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H / 661-680 M)

Muawiyah dilahirkan + 15 tahun sebelum hijriyah dan masuk Islam pada hari penaklukan Mekah. Beliau diangkat langsung oleh Rasulullah sebagai anggota sidang penulis wahyu yang bertujuan agar Muawiyah lebih akrab dan Islam ini benar-benar tertanam dalam hatinya.
Dalam perjalanan sejarah hidupnya, kemudian dia diangkat sebagai Gubernur Damaskus, dari sini karir politiknya dilakukan secara perlahan, yang kemudian mengantarkannya ke puncak kekuasaan. Diantara yang dilakukan adalah perluasan wilayah dan berusaha menaklukkan beberapa daerah kekuasaan Byzantium dan Persia.

2. Kholifah Abdul Malik ibn Marwan (65-86 H / 685-705 M)

Beliau terkenal karena banyak jasanya dalam menciptakan keamanan di semua wilayah Islam. Setelah keamanan menjadi stabil, maka ia berusaha melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat, antara lain :

a. Membentuk mahkamah agung

b. Penggantian bahasa resmi

c. Penggantian mata uang dan lain-lain

3. Kholifah Walid ibn Abdul Malik (86-96 H / 705-715 M)

Pada masa pemerintahan beliau adalah masa-masa keemasan daulat bani Umayyah, karena di samping wilayah Islam luas, kemajuan dalam bidang sosial dan budaya.

4. Kholifah Umar bin Abdul Azis (99-101 H / 717-720 M)

Beliau di kenal dengan keadilannya menjalankan pemerintahannya. Ia lebih mementingkan agama dari pada politik, lebih mementingkan persatuan umat.Beliau dalam menyebarkan Islam dilakukan dengan cara mengirimkan para muballigh ke India, Turki dan Barbar (Afrika).

5. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H / 724-743 M)

Beliau adalah termasuk orang yang cakap, sehingga masa pemerintahannya mengalami kemajuan yang amat pesat.





    BAB III
                                                         PENUTUP

Bicara tentang kejayaan peradaban Islam di masa lalu, dan juga jatuhnya kemuliaan itu seperti nostalgia. Orang bilang, romantisme sejarah. Tidak apa-apa, terkadang ada baiknya juga untuk dijadikan sebagai bahan renungan. Karena bukankah masa lalu juga adalah bagian dari hidup kita. Baik atau buruk, masa lalu adalah milik kita. Kaum muslimin, pernah memiliki kejayaan di masa lalu. Dalam zaman Daulah Abbasiyah, masa meranumlah kesusasteraan dan ilmu pengetahuan, disalin ke dalam bahasa Arab, ilmu-ilmu purbakala. Lahirlah pada masa itu sekian banyak penyair, pujangga, ahli bahasa, ahli sejarah, ahli hukum, ahli tafsir, ahli hadits, ahli filsafat, thib, ahli bangunan dan sebagainya. Zaman ini adalah zaman keemasan Islam, demikian Jarji Zaidan memulai lukisannya tentang Bani Abbasiyah. Adapun wilayah kekuasaan Islam pada masa kejayaan Bani Umayyah adalah memperluas wilayah kekuasaan Islam ke Afrika Utara, ke barat sampai ke Maroko, dan ke utara menyeberangi laut tengah. Kemudian pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik ini berusaha memperluas wilayah ke daerah timur, ke benua Afrika dan Spanyol.[2]untuk memperbesar kekuasaan. Umpamanya memburuk-burukkan dan menyumpah Ali bin Abi Thalib RA dalam tiap khutbah

Sejarah dan Pemikirannya Firqah Syiah

Sejarah dan Pemikirannya Firqah Syiah

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sepeninggal Rasulullah Saw. kaum muslimin telah terkoyak dalam perselisihan seputar orang yang berhak atas jabatan khalifah yang berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai pemegang jabatan tersebut. Banyak di antara bangsa Arab yang bergabung dengan Ali ysang berdampak terpecahnya mereka menjadi dua kelompok : Kelompok Jamaiah dan Kelompok Syi’ah. Kelompok Jamaiah adalah kelompok yang menerima Abu Bakar, Umar, dan Usman sebagai khalifah. Ketika  jabatan khalifah dipegang oleh Bani Umayyah, kelompok Jamaiah tetap bersikap taat kepada mereka. Dari sejarah kelompok Jamaiah – sebagai jamaah besar- tersusunlah sejarah Daulat Islamiah. Sedangkan selain dari kelompok tersebut, tidak lain hanya sebagai kelompok-kelompok pemberontak atau golongan pinggiran yang tidak pernah mendapat dukungan dari mayoritas kaum muslimin sehingga kelompok tersebut tidak pernah berhasil mendirikan pemerintah yang berdaulat, sekalipun sebahagian di antaranya mempunyai kekuasaan yang luas dsalam lembaran sejarah. Kelompok Syi’ah adalah kelompok yang berpendapat dan berketetapan, sebagai kelompok yang beranggapan bahwa jabatan khalifah wajib dipegang oleh Ahlul Bait, bahwa yang berhak menduduki jabatan khalifah adalah Ali bin Abu Thalib, kemudian para puteranya sebagai pewaris.[1]



B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, banyak persoalan atau permasalahan menarik dan perlu dikaji dari pembahasan “Firqah Syi’ah”. Adapun permasalahannya sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan Firqah Syi’ah dan bagaimana sejarah lahir dan perkembangannya ?
2.      Apa saja prinsip-prinsip dan ajaran Firqah Syi’ah ?
3.      Bagaimana sisi perbedaan antara Syi’ah dengan Ahlussunnah dan Khawarij dalam ilmu kalam ?
4.      Siapa saja tokoh-tokoh Syi’ah ?
5.      Bagaimana perkembangan Syi’ah di Indonesia ?
C.    Tujuan Penulisan
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah, secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini adalah ingin memaparkan tentang Firqah Syi’ah. Tujuan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam tujuan khusus, yaitu sebagai berikut :
1.      Ingin mengetahui yang dimaksud dengan Firqah Syi’ah, sejarah lahir dan pekembangannya.
2.      Ingin mengetahui prinsip-prinsip dan ajaran Firqah Syi’ah.
3.      Ingin mengetahui sisi perbedaan antara Syi’ah dengan Ahlussunnah dan Khawarij dalam ilmu kalam.
4.      Ingin mengetahui tokoh-tokoh Syi’ah.
5.      Ingin mengetahui perkembangan Syi’ah di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian, Sejarah Lahir, dan Perkembangan Firqah Syi’ah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad Saw. atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.
Menurut Thabathabai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad Saw. para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di antaranya adalah Abu Dzar Al- Ghiffari, Miqad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
Pengertian bahasa dan terminologis di atas hanya merupakan dasar yang membedakan Syi’ah dengan kelompok Islam yang lain. Di dalamnya belum ada penjelasan yang memadai mengenai Syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun demikian, pengertian di atas merupakan titik tolak penting bagi Mazhab Syi’ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segala aspek kehidupan, seperti imamah, tarqiyah, mut’ah, dan sebagainya.[2]
Al-Ya’qubi berkata,”Beberapa orang dari kalangan Muhajirin dan Anshar tidak hadir dalam pembaiatan Abu Bakar dan mereka condong kepada Ali bin Abi Thalib (untuk menjadi khalifah). Di antara mereka adalah: Al-Abbas bin ‘Abdil Muththalib, Al-Fadhl bin Al-‘Abbas,Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Khalid bin Sa’id, Al-Miqdad bin ‘Amr, Salman Al-Farisi, Abu Dzarr Al-Ghiffari, ‘Ammar bin Yasir, Al-Barra’ bin ‘Azib, dan Ubay bin Ka’ab.”
Al-Mas’udi mengatakan bahwa Salman dan ‘Ammar telah menjadi Syi’ah ‘Ali pada zaman Nabi Saw.
Berangkat dari apa yang telah disebutkan di atas, maka sesungguhnya sekelompok peneliti berkeyakinan bahwa Nabi Saw. adalah pendiri sebenarnya bagi mazhab Syi’ah ini. Sebab, Nabi Saw. adalah orang pertama yang menggunakan istilah Syi’ah ini dalam hadits-hadits beliau bagi para pengikut ‘Ali.
Para mufasir dari kalangan Ahlus Sunnah menyebutkan bahwa ayat yang mulia ini, Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk, diturunkan berkenaan dengan ‘Ali.[3]
Al-Hafizh Jamaluddin Az-Zarnadi meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa ketika ayat ini (QS. Al-Bayyinah (98): 7) diturunkan, Nabi Saw. bersabda kepada ‘Ali, “Mereka adalah kamu dan Syi’ahmu. Kamu dan Syi’ahmu akan datang pada hari kiamat dalam keadaan ridha dan diridhai, sedangkan musuh-musuhmu akan datang dalam keadaan dimurkai dan tertengadah.”[4]
Mengenai kemunculan Syi’ah dan perkembangannya dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir pemerintahan Usman bin ‘Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Dari kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi Saw. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Usman bin ‘Affan, karena menurut pandangan mereka Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi Saw.[5]
Pada masa dinasti Amawiyah, Syi’ah memiliki pengikut yang banyak. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terhadap ahl al-bait. Di antara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan penguasa Bani Umayyah, Yazid bin Mu’awiyah, umpamanya, pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala. Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi Saw. yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi. Kekejaman seperti ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab Syi’ah, atau paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedi yang menimpa ahlu al-bait.[6]
B.     Prinsip-prinsip dan Ajaran Firqah Syi’ah
Secara fisik mungkin kita sangat sulit untuk membedakan antara kaum muslimin dengan pengikut Syi’ah, tetapi bila kita mau menelusuri ajaran Syi’ah dari referensi-referensi utama mereka, maka akan kita dapatkan bahwa Syi’ah ternyata sangat jauh berbeda dengan Islam yang dibawa oleh Rasulullah. Berikut ini adalah beberapa ajaran pokok mereka yang banyak kita dapatkan dalam rujukan-rujukan utama mereka:
  1. Aqidah Syi’ah Dalam Masalah Ketauhidan
Mereka mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui bagian tertentu sebelum terjadi. Dan mereka mensifati Allah Ta'ala dengan al-Bada' yakni Allah baru mengetahui sesuatu setelah terjadi. Salah seorang ulama mereka, Ar-Rayyan bin As-Shalt berkata: “Saya pernah mendengar Ar-Ridho berkata: Allah tidak mengutus nabi kecuali diperintahkan untuk mengharamkan khamr, dan diperintahkan untuk menetapkan sifat bada’ bagi Allah.” Abu Abdillah berkata seseorang belum dianggap beribadah kepada Allah sedikitpun, sehingga ia mengakui adanya sifat bada’ pada Allah.
Anda bayangkan, bagaimana mereka menisbatkan kebodohan kepada Allah, yang telah berfirman tentang Dzat-Nya sendiri:  “Katakanlah : “tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah”(QS.An-Naml : 65).[7]
Sementara di sisi lain, mereka berkeyakinan bahwa para imam mereka mengetahui segala ilmu pengetahuan dan tak ada sedikitpun yang samar baginya. Al-kulaini, seorang ulama paling terpercaya di kalangan Syi’ah, - bagaikan Imam Bukhari di kalangan Ahlus Sunnah - berkata di dalam bukunya:“Bab bahwa para imam mengetahui ilmu yang telah dan akan terjadi, dan tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi bagi mereka.” Dan di dalam buku dan halaman yang sama, iapun menyebutkan beberapa riwayat dengan sanadnya dari para sahabat mereka, bahwa mereka telah mendengarkan Abu Abdillah (Ja’far Ash Shadiq) berkata: “Sesungguhnya aku mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan akupun mengetahui apa yang ada dalam surga, mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang telah terjadi.”
Ni’matullah Al Jazaairi –salah seorang ulama besar Syi’ah- berkata: “Penulis kitab Masyariqul Anwar telah meriwayatkan dengan sanadnya kepada dari Mufadhdhal bin Amr ia berkata: Aku telah bertanya kepada Abu Abdillah tentang imam, bagaimana beliau bisa mengetahui setiap kejadian di jagad raya ini padahal beliau ada di dalam rumahnya ? beliau menjawab: Wahai Mufadhdhal, sesungguhnya Allah telah menjadikan baginya lima ruh, ruh kehidupan yang digunakan untuk berjalan dan naik, ruh kekuatan dan dengannyalah beliau bangkit, ruh syahwat dan dengannyalah ia makan dan minum, ruh iman dan dengannyalah beliau memerintah dan berbuat adil, dan Ruhul Qudus, dan dengannyalah beliau membawa kenabian. Maka tatkala Rasulullah wafat ruhul Qudus ini pindah kepada Imam, maka ia tidak akan lalai, dan dengannyalah ia melihat kejadian di seluruh jagad raya, dan bagi Imam tidak ada sesuatupun yang tersembunyi baik yang ada di langit ataupun apa yang ada di bumi…maka barangsiapa yang tidak memiliki sifat ini, maka bukanlah seorang Imam.” Apakah ini Aqidah Islamiyyah yang dibawa oleh nabi Muhammad ?[8]
Syi’ah juga berkeyakinan bahwa Allah tidak memiliki Sifat. Tokoh-tokoh mereka tetap berpijak diatas konsep yang sesat ini, dengan meniadakan sifat-sifat Allah yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Haditst yang shahih. Sebagaimana juga mereka juga mengingkari turunnya Allah _ ke langit bumi, ditambah lagi perkataan mereka tentang Al-Quran bahwa ia adalah makhluk, disamping itu mereka juga mengingkari bahwa Allah _ akan dapat terlihat oleh orang-orang yang beriman di akhirat nanti.

  1. Aqidah Syi’ah Tentang Al-Qur’an
Menurut kepercayaan penganut Syi’ah, Al-Quran yang ada sekarang sudah diubah, ditambah dan dikurangi oleh para sahabat dan tidak asli lagi. Seorang ulama Syi’ah, Al-Kusysyi berkata: "Tidak sedikitpun isi kandungan Al-Quran oleh Ahli Sunnah wal-Jamaah sekarang- yang boleh kita jadikan pegangan".
Menurut Syi’ah, Al-Quran yang asli berada di tangan Ali yang kemudian diwariskan kepada puteraputeranya, dan pada masa sekarang ini Al-Quran yang asli berada di tangan Imam Mahdi al-Muntazar yang mereka namakan dengan Mushaf Fatimah.Pernyataan kufur mereka ini sama sekali belum pernah dilontarkan sekte-sekte sesat sekalipun seperti Mu'tazilah, Khawarij ataupun Murji`ah.


  1. Aqidah Syi’ah Tentang As Sunnah (Hadits Nabi)

Syi’ah menolak hadits-hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muhadditsin Ahli Sunnah wal Jama’ah, seperti Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan yang lainnya, kalaupun mereka menyebutkannya itu hanya sebatas taqiyyah atau jikalau hal itu dianggap mendukung ajaran mereka. Syi’ah hanya menerima hadits yang diriwayatkan oleh perawi Ahli Bait. Menurut Syi’ah hadits bukan semata-mata dari Nabi tetapi dari Imam Dua Belas yang maksum. Nilai perkataan imam yang maksum senilai dengan wahyu dan sabda nabi. Keyakinan bahwa Imam adalah maksum menjadikan semua perkataan yang keluar dari mereka adalah shahih. Maka tidak diperlukan menyandarkan sanadnya kepada Rasulullah sebagaimana di kalangan Ahlu Sunnah wal-Jamaah.

  1. Aqidah Syi’ah Tentang Kenabian
Syi’ah beranggapan bahwa Para Nabi Alaihimus Salam dan termasuk di dalamnya Nabi Besar Muhammad telah gagal dalam menyampaikan risalahnya. Hal itu diungkapkan oleh Imam kontemporer mereka Al-Khumaeni, ia berkata pada salah satu khutbahnya dalam rangka memperingati hari kelahiran Mahdi Syi’ah, pada tgl 15 Sya’ban 1400 H: “Para nabi semuanya telah datang untuk menegakkan kaidah-kaidah keadilan, akan tetapi mereka tidak berhasil, bahkan Nabi Muhammmad sang Penutup para nabi yang datang untuk melakukan reformasi pada umat manusia…iapun tidak berhasil untuk menegakkan hal itu, dan satu-satunya orang yang akan berhasil dalam hal itu adalah Al Mahdi Al Muntadzar.”

  1. Aqidah Syi’ah Tentang Para Sahabat Rasulullah
Aqidah Syi’ah berpijak di atas pencacian, pencelaan dan pengkafiran terhadap sahabat-sahabat Nabi. Hal itu diungkapkan oleh Al-Kulaini dalam bukunya Furu’ul-Kaafi yang diriwayatkan dari Ja’far: “Semua sahabat sepeninggal Rasulullah _ telah murtad (keluar dari Islam) kecuali tiga, kemudian saya bertanya kepadanya: siapakah ketiga sahabat ini? ia menjawab: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al-Farisi.”

  1. Aqidah Syi’ah Tentang Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak)
Kaum muslimin telah sepakat dan Ijma’ para ulamapun telah terjadi, bahwa nikah mut’ah hukumnya haram. Rasulullah _ bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya saya pernah membolehkan bagi kalian nikah Mut’ah (bersenang-senang dengan wanita) ketahuilah, bahwa Allah Subhanahu Wata’ala telah mengharamkannya sampai hari kiamat.” (H.R.Muslim)
Namun ajaran Syi’ah tidak menjadikan Ijma’ sebagai landasan agama mereka, sehingga mereka justru menjadikan nikah mut’ah sebagai salah satu ibadah yang paling afdhal yang dilakukan oleh pengikutnya, dan bahkan mereka menjadikannya sebagai salah satu pilar utama keimanan. Disebutkan dalam buku “Manhajus Shadiqin” yang ditulis oleh Fathullah Al-Kasyani, dari Ash-Shadiq bahwasannya mut’ah adalah bagian dari agamaku, dan agama nenek moyangku, dan barang siapa yang mengamalkannya berarti ia mengamalkan agama kami, dan barang siapa yang mengingkarinya berarti ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama dengan selain agama kami, dan anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut’ah lebih utama dari pada anak yang dilahirkan di luar nikah mut’ah, dan orang yang mengingkari nikah mut’ah ia kafir dan murtad.”
Ada tiga aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syi’ah tersebut adalah Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah.[9]


1.      Syi’ah Zaidiyah
Dinamakan Syi’ah Zaidiyah, karena kelompok itu pengikut Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yaitu saudara kandungnya Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir bin bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Syi’ah Zaidiyah adalah golongan yang lebih moderat dari semua golongan Syi’ah yang ada. Menurut mereka, Rasulullah tidak pernah menunjukkan Ali sebagai khalifah secara langsung dengan menyebut namanya. Beliau hanya menunjukkan secara isyarat (deskripsi) saja.[10]
Syi’ah Zaidiyah ini adalah Syi’ah yang sederhana, bukan ghullat. Mereka tidak mengkafirkan Saidina Abu Bakar, Umar dan Utsman Rda., tetapi mereka berkeyakinan bahwa Saidina Ali lebih mulia dari Abu Bakar. Syi’ah Zaidiyah beri’tiqad bahwa orang Muslim yang mengerjakan dosa besar, kalau meninggal sebelum taubat maka ia kafir, kekal dalam neraka. Tersebut dalam kitab “Dzuhrul Islam” karangan Ahmad Amin, pada juzu’ ke 4, pagina 136-137 yaitu : “Imam kaum Zaidiyah Zaid bin ‘Ali adalah murid Washil bin ‘Atha’, pemimpin Kaum mu’tazilah dalam ushuluddin.[11] Dalam masalah fiqih mereka lebih mirip dengan Mazhab Syafi’i.[12]
Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Syi’ah Zaidiyah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah dan dalam bidang furu’uddin ia menganut paham Hanafiah.
2.      Syi’ah Ismailiyah dan Aliran-aliran Cabangnya
a)      Bathiniyah
Imam Shadiq a.s. mempunyai seorang putra sulung yang bernama Ismail. Ia meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup. Imam Shadiq a.s. mempersaksikan kepada seluruh khalayak bahwa putranya yang bernama Isma’il telah meninggal dunia. Ia pun telah mengundang gubernur Madinah kala itu untuk menjadi saksi bahwa putranya itu telah meninggal dunia. Meskipun demikian, sebagian orang meyakini bahwa ia tidak meninggal dunia. Ia ghaib dan akan muncul kembali. Ia adalah Imam Mahdi a.s. yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. Mereka meyakini bahwa persaksian Imam Shadiq a.s. di atas hanyalah sebuah taktik yang dilakukannya untuk mengelabuhi Manshur Dawaniqi karena khawatir ia akan membunuhnya.
Dua kelompok pertama telah punah ditelan masa. Kelompok ketiga hingga sekarang masih memiliki pengikut dan mengalami perpecahan internal juga.[13]
Secara global, Ismailiyah memiliki ajaran-ajaran filsafat yang mirip dengan filsafat para penyembah bintang dan dicampuri oleh ajaran irfan India. Mereka meyakini bahwa setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah hukum hanya dikhususkan bagi orang-orang awam yang belum berhasil sampai kepada strata spiritual yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus melaksanakan hukum tersebut dengan praktik rutin sehari-hari.
Mereka juga meyakini bahwa hujjah Allah ada dua macam: nathiq (berbicara) dan shaamit (diam). Hujjah yang pertama adalah Rasulullah SAW dan hujjah yang kedua adalah imam sebagai washinya.
Menurut keyakinan mereka, Nabi Adam a.s. diutus dengan mengemban kenabian dan wilayah. Setelah meninggal dunia, ia memiliki tujuh orang washi. Washinya yang ketujuh adalah Nabi Nuh a.s. yang memiliki kedudukan kenabian, kewashian dan wilayah. Nabi Ibrahim a.s. adalah washi ketujuh Nabi Nuh a.s., Nabi Musa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Ibrahim a.s., Nabi Isa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Musa a.s., Muhammad bin Ismail adalah washi ketujuh Rasulullah SAW (Imam Ali a.s., Imam Husein a.s., Imam Sajjad a.s., Imam Baqir a.s., Imam Shadiq a.s., Ismail dan Muhammad bin Ismail). Setelah Muhammad bin Ismail, terdapat tujuh orang washi yang nama dan identitas mereka tidak diketahui oleh siapa pun. Dan setelah masa tujuh orang washi tak dikenal itu berlalu, terdapat tujuh orang washi lagi. Mereka adalah tujuh raja pertama dinasti Fathimiyah di Mesir. Raja pertama adalah Ubaidillah Al-Mahdi.
Mereka juga meyakini bahwa di samping hujjah-hujjah Allah tersebut, terdapat dua belas orang nuqaba`. Mereka adalah para sahabat pilihan hujjah-hujjah Allah tersebut. Akan tetapi, sebagian aliran cabang Ismailiyah yang bernama Bathiniyah (Duruziyah) meyakini bahwa enam orang dari dua belas nuqaba` tersebut adalah para imam dan enam yang lainnya adalah selain imam.
Pada tahun 278 H., beberapa tahun sebelum Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika, seorang misterius yang berasal dari Khuzestan, Iran dan tidak pernah menyebutkan identitas dirinya muncul di Kufah. Di siang hari ia selalu berpuasa dan di malam hari ia selalu beribadah. Ia tidak pernah meminta bantuan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mengajak masyarakat setempat untuk menganut mazhab Ismailiyah dan mereka menjawab ajakannya. Kemudian ia memilih dua belas orang di antara pengikutnya sebagai nuqaba`. Setelah itu, ia keluar dari Kufah untuk menuju ke Syam dan tidak lama kemudian ia menghilang.
Setelah orang tak dikenal itu menghilang, ada seseorang yang bernama Ahmad dan dikenal dengan julukan Qirmith menggantikan kedudukannya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Bathiniyah. Para sejarawan mengatakan bahwa ia menciptakan shalat baru sebagai ganti dari shalat lima waktu yang telah ditetapkan oleh Islam, menghapus mandi jenabah dan menghalalkan khamar. Para pemimpin Bathiniyah mengajak masyarakat untuk memberontak terhadap para penguasa waktu itu.[14]
Para pengikut Bathiniyah ini menganggap halal darah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran Bathiniyah. Atas dasar keyakinan ini, mereka pernah mengadakan pembunuhan dan perampokan besar-besaran di Irak, Bahrain, Yaman dan kota-kota sekitar. Sering kali mereka merampok kafilah haji yang sedang menuju Makkah dan membunuh semua orang yang ada di kafilah tersebut.
b)     Nazzariyah dan Musta’liyah
Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika (tepatnya di Mesir) pada tahun 296 H. dan ia adalah pendiri dinasti Fathimiyah. Mazhab yang dianutnya adalah Syi’ah Ismailiyah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh orang dari keturunannya meneruskan dinastinya tanpa terjadi perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah. Perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah terjadi setelah raja ketujuh dinasti Fathimiyah, Mustanshir Billah Sa’d bin Ali meninggal dunia. Ia memiliki dua orang putra yang masing-masing bernama Nazzar dan Musta’li. Setelah ayah mereka meninggal dunia, terjadi persengketaan di antara kakak dan adik tersebut berkenaan dengan urusan khilafah. Setelah terjadi peperangan di antara mereka yang memakan banyak korban, Musta’li dapat mengalahkan Nazzar. Ia menangkap Nazzar dan menghukumnya hingga ajal menjemputnya.
Setelah persengketaan tersebut, dinasti Fathimiyah yang bermazhab Ismailiyah terpecah menjadi dua golongan: Nazzariyah dann Musta’liyah.
Nazzariyah adalah para pengikut Hasan Ash-Shabaah, seseorang yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Mustanshir Billah. Setelah Mustanshir Billah meninggal dunia, ia diusir dari Mesir oleh Musta’li karena dukungannya terhadap Nazzar. Ia lari ke Iran, dan akhirnya muncul di benteng “Al-Maut” yang berada di sebuah daerah dekat kota Qazvin. Ia berhasil menaklukkan benteng tersebut dan benteng-benteng yang berada di sekitarnya. Kemudian, ia memerintah di situ. Sejak pertama kali memerintah, ia mengajak penduduk sekitar untuk menghidupkan kembali nama baik Nazzar dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Setelah Hasan Ash-Shabaah meninggal dunia pada tahun 518 H., Buzurg Oumid Rudbari menggantikan kedudukannya dan setelah ia meninggal dunia, putranya yang bernama Kiyaa Muhammad mengganti kedudukannya. Keduanya memerintah dengan mengikuti cara dan metode Hasan Ash-Shabaah. Sepeninggal Kiyaa Muhammad, putranya yang bernama Hasan Ali Dzikruhus Salam menggantikan kedudukannya. Ia menghapus semua cara dan ajaran Hasan Ash-Shabaah dan mengikuti ajaran-ajaran aliran Bathiniyah.
Hal ini terus berjalan lancar hingga Hulaghu Khan dari dinasti Mongol menyerang Iran. Ia berhasil menguasai semua benteng pertahanan mazhab Ismailiyah dan menyamaratakannya dengan tanah. Setelah peristiwa itu berlalu, Aqa Khan Mahallati yang bermazhab Nazzariyah memberontak terhadap Qajar Syah. Di sebuah pertempuran yang terjadi di Kerman, ia kalah dan melarikan diri ke Bombay, India. Setelah sampai di Bombay, ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran Nazzariyah. Ajaran-ajarannya sampai sekarang masih diikuti oleh penduduk di sana. Dengan ini, aliran Nazzariyah juga dikenal dengan sebutan “Aqa-khaniyah”.
Musta’liyah adalah para pengikut Musta’li, salah seorang raja dinasti Fathimiyah yang pernah berkuasa di Mesir.[15]
Pada masa dinasti inilah dibangun sebuah mesjid yang bernama Al-Azhar di pusat kota Cairo, Mesir. Di samping untuk sarana beribadah  di mesjid tersebut juga diselenggarakan pendidikan. Dibangunnya mesjid tersebut adalah untuk bersaing dengan kekhalifahan di Baghdad, di antaranya usahanya dengan mengajarkan mazhab Syi’ah kepada kader-kader mubaligh. Al-Azhar pada masa Dinasti Fathimiyah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi corong dan alat untuk propaganda kekuasaan kekhalifahan, sekaligus sebagai alat penyebaran doktrin ajaran Syi’ah. Dan peraturan yang dibuat di sana adalah seluruh masyarakat dan mahasiswa yang menuntut ilmu di sana tidak diperbolehkan untuk mengikuti aliran selain aliran Syi’ah, siapa yang menentang akan diberi hukuman mati.[16]
Aliran Syi’ah Musta’liyah ini akhirnya musnah pada tahun 557 H. Setelah beberapa tahun berlalu, sebuah aliran baru muncul di India yang bernama “Buhreh” (Buhreh adalah bahasa Gujarat yang berarti pedagang) dan meneruskan ajaran-ajaran Musta’liyah yang hingga sekarang masih memiliki pengikut.
c)      Duruziyah
Pada mulanya Duruziyah adalah para pengikut setia para kahlifah dinasti Fathimiyah. Akan tetapi, ketika Khalifah keenam dinasti Fathimiyah memegang tampuk kekuasaan, atas ajakan Neshtegin Duruzi mereka memeluk aliran Bathiniyah. Mereka meyakini bahwa Al-Hakim Billah ghaib dan naik ke atas langit. Ia akan muncul kembali di tengah-tengah masyarakat.[17]
d)     Muqanni’iyah
Pada mulanya Muqanni’iyah adalah pengikut ‘Atha` Al-Marvi yang lebih dikenal dengan sebutan Muqanni’. Ia adalah salah seorang pengikut Abu Muslim Al-Khurasani. Setelah Abu Muslim meninggal dunia, ia mengaku bahwa ruhnya menjelma dalam dirinya. Tidak lama setelah itu, ia mengaku nabi dan kemudian mengaku dirinya Tuhan. Pada tahun 163 H., ia dikepung di benteng Kish yang berada di salah satu negara-negara Maa Wara`annahr. Karena yakin dirinya akan tertangkap dan akhirnya terbunuh, ia menyalakan api unggun lalu terjun ke dalamnya bersama beberapa orang pengikutnya. Para pengikutnya akhirnya menganut mazhab Ismailiyah yang beraliran faham Bathiniyah.[18]
3.      Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah
Dinamakan Syi’ah Imamiah karena yang menjadi dasar kepercayaan mnereka adalah soal imam (khilafah). Artinya, mereka beriktikad bahwa Baginda Ali-lah yang semestinya menjadi khalifah (pengganti Nabi). Hal itu bukan karena kecakapannya atau sifat-sifat yang disebut oleh Nabi Saw. tentang beberapa keistimewaan Ali, melainkan karena Rasulullah telah menyebut nama Baginda Ali secara langsung dan terang-terangan.
Menurut kelompok Syi’ah Imamiah urutan nama-nama para imam yang wajib diimani adalah sebagai berikut :[19]
(1)   Ali bin Abi Thalib, wafat tahun 40 H.
(2)   Hasan bin Ali, wafat tahun 58 H.
(3)   Husein bin Ali, wafat tahun 61 H.
(4)   Ali Zainal Abidin bi Husein, wafat tahun 94 H.
(5)   Abu Jakfar Muhammad Al Baqir, wafat tahun 113 H.
(6)   Abu Abdullah Jakfar Shadiq, wafat tahun 148 H. Sampai dengan imam yang keenam, mereka masih sepakat dalam hal imamah. Mereka berselisih tentang imam yang ketujuh. Ada yang mengatakan Ismail bin Abu Jakfar Shadiq, ada yang mengatakan Muhammad bin Jakfar Shadiq, dan ada pula yang mengatakan Musa Al Kazim bin Jakfar Shadiq.
(7)   Musa Al Kazim, wafat tahun 183 H.
(8)   Abu Al Hasan Ali Redha, wafat tahun 202 H.
(9)   Abu Jakfar Muhammad Al Jawwad, wafat tahun 220 H.
(10)  Ali Al Hadi bin Ali Redha, wafat tahun 254 H.
(11)  Abu Muhammad Hasan Al ‘Askari, wafat tahun 260 H.
(12)  Muhammad bin Al Mahdi Al Muntazhar bersembunyi (menghilang) tahun 260 H.
Menurut kepercayaan mereka, imam yang kedua belas itu (Imam Mahdi) adalah yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Ia akan muncul kembali pada akhir zaman untuk menegakkan keadilan dan menghancurkan kezaliman di muka bumi ini.
Syi’ah Imamiah juga disebut Itsna ‘asyariyah yang berarti dua belas, yakni aliran yang percaya kepada imam yang dua belas. Ia juga disebut Jakfariah karena mazhab Imamiah itu dipelopori oleh Imam Jakfar Shadiq. Nama-nama imam yang dua belas itu adalah termasuk rukun iman bagi penganut Mazhab Syi’ah Imamiah.[20]
Di dalam sekte Syi’ah Itsna Asyariyah dikenal  konsep Usulu Ad-Din. Konsep ini menjadi akar atau fondasi pragmatism agama. Konsep Usuluddin mempunyai lima akar, yaitu :[21]
1)      Tauhid (The Devine Unity)
2)      Keadilan (The Devine Justice)
3)      Nubuwwah (Apostleship)
4)      Ma’ad (The Last Day)
5)      Imamah (The Devine Guidance)
Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdah, Syi’ah Itsna Asyariyah berpijak kepada delapan cabang agama yang disebut dengan furu ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus (pajak sebesar seperlima dari pengahasilan), jihad, amar ma’ruf nahi munkar.[22]
C.    Tokoh-tokoh Syi’ah
1.      Nashr bin Muzahim (120 – 212 H.)
Abul Fadhl Nashr bin Muzahim bin Sayyar al-Minqari, salah seorang sejarawan tersohor Syi'ah lahir di kota Kufah. Ia lebih banyak menghabiskan usianya di Baghdad. Al-Khathib al-Baghdadi di dalam buku sejarahnya menyebut Nashr bin Muzahim sebagai salah seorang tokoh ilmuwan Baghdad.
Para sejarawan berbeda pendapat tentang ke-tsiqah-an Nashr bin Muzahim. Sepertinya, perbedaan pendapat ini disebabkan oleh karena ia adalah seorang pengikut mazhab Syi'ah.
Ibn Hibban menyebut ia sebagai salah seorang tokoh yang tsiqah dan dapat dipercaya. Tentang tokoh yang satu ini, Ibn Abil Hadid berkomentar, "Nashr bin Muzahim adalah seorang tokoh yang tsiqah, dapat dipercaya, dan teguh. Segala ucapan dan penukilan-penukilannya adalah absah. Ia tidak pernah mengucapkan sesuatu karena didorong oleh hawa nafsu dan niat berbohong. Ia adalah salah seorang tokoh perawi hadis."
Berbeda dengan seluruh pendapat tersebut, 'Uqaili berpendapat, "Nashr bin Muzahim adalah seorang pengikut mazhab Syi'ah. Hadis dan pendapatnya banyak mengalami pertentangan, karena ucapannya tidak memiliki keserasian antara yang satu dengan lainnya." Abu Hatim juga berkomentar, "Hadis-hadis Nashr bin Muzahim mengalami penyelewengan dan tidak dapat diamalkan."[23]

2.      Ahmad bin Muhammad bin Isa Al-Asy'ari (Abad Ketiga – 274 H.)
Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Abdullah al-Asy'ari al-Qomi dilahirkan pada abad ketiga Hijriah. Ia adalah salah seorang sahabat para imam ma'shum as. Ia dilahirkan di kota Qom, kota ilmu agama dan para perawi handal Syi'ah dan tempat perlindungan bagi para fuqaha dan ilmuwan handal yang selalu mencintai Ahlulbait Rasulullah saw. Ia dibesarkan dan dididik di dalam sebuah keluarga ahli ilmu yang selalu mendambakan kecintaan kepada Ahlulbait Nabi saw. Dari sejak masa muda, ia telah menimba ilmu pengetahuan Islam di bawah bimbingan langsung ayahnya, Muhammad bin Isa al-Asy'ari.
Ahmad bin Muhammad bin Isa adalah salah seorang tokoh handal dan tersohor pada masa hidupnya. Ia juga seorang tokoh masyarakat kota Qom dan selalu memiliki kehormatan istimewa. Di kalangan para ulama dan ilmuwan Syi'ah, ia juga memiliki kedudukan yang istimewa. Di samping itu, ia termasuk salah seorang perawi hadis Syi'ah yang sangat tersohor. Ia pernah hidup semasa dengan Imam ar-Ridha, Imam al-Jawad, dan Imam al-Hadi as dan menukil banyak riwayat dari para iman ma'shum as. Namanya disebutkan di dalam 2290 sanad hadis. Syaikh ath-Thusi, an-Najasyi, Ibn Dawud, dan Allamah al-Hilli berkomentar, "Ia adalah seorang tokoh besar kota Qom, seorang yang tersohor, faqih, dan pemuka masyarakat Qom. Sebagai wakil masyarakatnya, ia selalu tegak berdiri menghadapi para raja yang berkuasa pada waktu itu."
Ia pernah mengusir Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Khalid al-Barqi, salah seorang perawi hadis Syi'ah dari kota Qom. Tindakan ini ia ambil lantaran al-Barqi menukil riwayat-riwayat yang lemah (dha'îf) atau hadis-hadis mursal. Akan tetapi, selang beberapa waktu, ia menyesali perbuatannya tersebut. Ia memohon maaf kepadanya dan mengembalikannya ke kota Qom. Demi menebus kesalahan yang telah dilakukannya itu, setelah al-Barqi meninggal dunia, ia mengantarkan jenazahnya sambil berkepala telanjang dan tidak beralas kaki.[24]

3.      Muhammad bin Hasan bin Furukh Ash-Shaffar (Permulaan Abad ke-3 – 290 H.)
Ash-Shaffar hidup pada masa kezaliman dan kelaliman dinasti Bani Abbasiah mencapai puncaknya. Tidak terhitung banyaknya para pembela dan penolong setia para imam ma'shum as yang menjalani kehidupan mereka di dalam rumah-rumah tahanan dan penyiksaan para penguasa yang sedang berkuasa pada masa itu. Para imam ma'shum as sendiri juga mendapatkan pengawasan ketat dari mereka, meskipun mereka menjalani kehidupan ini di rumah-rumah mereka. Ash-Shaffar adalah salah seorang yang paling tersohor di kalangan mereka. Ia banyak berhubungan dengan para pembesar dan tokoh-tokoh terkemuka mazhab pada masa itu, dan dengan menulis surat-surat rahasia, ia sering berjumpa dengan Imam Hasan al-'Askari as. Dengan jalan ini juga, ia dapat membangun jembatan relasi antara beliau dengan para pengikut Syi'ah yang lain.
Masyarakat Qom juga mengenalnya sebagai salah seorang tokoh termuka mazhab Syi'ah di kota tersebut. Dengan menghafal dan menukil hadis-hadis para imam ma'shum as, ia telah menghaturkan khidmat yang sangat besar kepada dunia Syi'ah. Para tokoh perawi hadis, seperti al-Kulaini, dengan menukil hadis-hadisnya—telah menyermpurnakan seluruh usahanya.
Berkenaan dengan tokoh yang satu ini, an-Najasyi berkomentar, "Muhammad bin Hasan bin Furukh ash-Shaffar adalah salah seorang tokoh Syi'ah terkenal di kota Qom. Ia adalah seorang figur yang dapat dipercaya dan memiliki nilai (spiritual) yang agung. Hadis-hadisnya selalu dimenangkan atas hadis-hadis selainnya. Ia juga memiliki banyak karya tulis."[25]

4.      Muhammad bin Mas’ud Al-‘Ayasyi As-Samarqandi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad bin Al-‘Ayasyi As-Samarqandi Al-Kufi. Julukannya adalah Abu An-Nadhr yang lebih dikenal dengan sebutan “Al-‘Ayasyi”. Ia adalah salah seorang ulama, faqih, sastrawan, muhaddis dan mufassir Syi’ah yang hidup sezaman dengan Ali bin Babawaeh Al-Qomi, dan bahkan --menurut sebagian sejarawan—ia lebih senior darinya. Ia adalah salah seorang guru Tsiqatul Islam Muhammad bin Ya’kub Al-Kulaini, pengarang kitab Al-Kafi dan Al-Kasyi, seorang ulama yang memiliki spesialisasi dalam ilmu Rijal. Tafsir “Al-‘Ayasyi” yang dijadikan rujukan oleh para ahli tafsir adalah karangannya.
Pada mulanya --karena pengaruh kehidupan masyarakat Samarqand dan Bukhara yang didominasi oleh mazhab Ahlussunnah-- ia menjadi seorang pengikut mazhab Ahlussunnah yang fanatik. Setelah membaca buku-buku mazhab Syi’ah, ia tertarik untuk memeluk mazhab Syi’ah. Harta warisan sebanyak 300.000 Dinar yang didapatkan dari ayahnya, ia pergunakan untuk menulis buku, menyebarkan hadis, mengajar dan mendidik murid-muridnya yang haus dengan ilmu-ilmu keislaman. Rumahnya selalu dipenuhi oleh para qari`, muhaddis, mufassir dan pelajar yang sedang menimba ilmu-ilmu keislaman. Tanggal wafat Al-‘Ayasyi tidak diketahui dengan pasti. Hanya pengarang buku “Al-A’lâm” yang mencatat wafatnya pada tahun 320 H.[26]

5.      Syaikhul Masyayikh, Muhammad Al-Kulaini (259 – 329 H.)
Faqih dan perawi hadis mazhab Syi‘ah yang paling tersohor pada belahan kedua abad ketiga dan belahan pertama abad keempat tahun Hijriah adalah Tsiqatul Islam Syaikh Muhammad al-Kulaini. Ia dilahirkan pada masa kepemimpinan Imam Kesebelas mazhab Syi‘ah, Imam Hasan al-‘Askari di dalam pelukan sebuah keluarga yang terkenal dengan kecintaannya kepada Ahlulbait as. Keluarga ini berdomisili di sebuah desa bernama Kulain yang terletak sekitar 38 km dari kota Rei. Karya al-Kulaini yang paling terkenal adalah kitab al-Kâfî. Imam Mahdi as—seperti pernah diriwayatkan—pernah berkata, “Kitab al-Kâfî adalah cukup bagi para pengikut kami.” Al-Kâfî adalah buku pertama dari empat buku referensi hadis Syi‘ah (al-Kutub al-Arba’ah). Tiga kitab yang lain adalah:[27]

a. Man Lâ Yahdhuruh al-Faqih, karya Syaikh ash-Shaduq.
b. At-Tahdzîb, karya Syaikh ath-Thusi.
c. al-Istibshâr, karya Syaikh ath-Thusi.
Keempat kitab referensi hadis ini adalah tempat rujukan para ulama, ahli hadis, dan para mujtahid mazhab Syi‘ah Imamiah dalam menyimpulkan sebuah hukum syariat.
Syaikh an-Najasyi berkomentar, “Pada zamannya, ia adalah tokoh dan panutan para pengikut Syi‘ah di kota Rei, dan lebih banyak mencatat hadis dari para ahli hadis yang lain. Di samping itu, ia adalah orang yang paling dapat dipercaya dibandingkan dengan ulama yang lain.”
Ibn Atsir berkomentar, “Pada abad ke-3 Hijriah, ia telah berhasil meniupkan napas baru ke dalam tubuh mazhab Syi‘ah. Ia adalah seorang ulama yang besar dan terkenal di dalam mazhab tersebut.”

6.      Ibnu ‘Aqil Al-‘Ummani
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Hasan bin Ali bin ‘Aqil Al-Hadzdzâ`. Ia adalah salah seorang ulama Syi’ah yang pernah hidup pada abad ke-3 H. dan berasal dari Yaman. Karena ‘Umman adalah sebuah daerah yang terletak di pertengahan antara Yaman dan Persia. Ia adalah guru Ja’far bin Qaulawaeh dan Ja’far sendiri adalah guru Syeikh Mufid. Ia memiliki spesialisasi dalam berbagai disiplin dan cabang ilmu rasional dan tradisional, seperti ilmu Kalam, filsafat, fiqih dan lain-lain. Akan tetapi, ia lebih dikenal karena kefaqihannya. Oleh karena itu, kita akan sering menjumpai namanya disebut ketika kita mengikuti pelajaran fiqih argumentatif.[28]

7.      Muhammad bin Hamam Al-Iskafi (258 – 336 H.)
Abu Ali Muhammad bin Hamam bin Suhail al-Iskafi adalah salah seorang ulama kenamaan Syi‘ah dan sahabat para wakil khusus Imam Mahdi as. Ia dilahirkan pada pada tahun 258 Hijriah di daerah Iskaf. Iskaf adalah sebuah daerah yang terletak antara Bashrah dan Kufah. Kota Kufah dan sekitarnya dikenal sebagai daerah basis pecinta Ahlulbait Rasulullah saw. Ia dilahirkan di dalam keluarga yang baru memeluk agama Islam lantaran bimbingan para pengikut Syi‘ah Ahlulbait as.
Tentang tokoh yang satu ini, Syaikh ath-Thusi menulis, “Abu Ali Muhammad bin Hamam al-Iskafi adalah seorang tokoh yang agung dan dapat dipercaya yang telah meriwayatkan banyak hadis dan riwayat.”
An-Najasyi berkomentar, “Muhammad bin Hamam al-Iskafi adalah panutan para sahabat kita dan salah seorang tokoh besar mazhab Syi‘ah. Ia memiliki kedudukan yang sangat agung dan telah meriwayatkan hadis-hadis yang sangat banyak.” Ulama besar dan tenar mazhab Syi‘ah ini meninggal dunia pada tahun 336 Hijriah dalam usia hampir mendekati delapan puluh tahun.
D.      Perkembangan Syi’ah di Indonesia




183Ketika Meir Husein Musavi kalah dalam pilpres Iran juni 2009 dan menyerukan para kaum reformis untuk menggugat, menghujat dan menentang kecurangan yang terjadi dalam pilpres, namun seruannya dibungkam dengan tangan besi Ahmadi Nejad, banyak pemuja Iran di Indonesia yang menafsirkannya dengan dasar husnuzan... Mereka lupa bahwa sesungguhnya negara tersebut memang didirikan di atas genangan darah penentangnya terutama Sunni... Tidak ada data otentik yang menyebutkan kapan persisnya ajaran syi'ah masuk ke Indonesia. Namun melihat fakta dan sejarahnya, masuknya syi'ah ke Indonesia tak bisa lepas dari sejarah politik negeri asal syi'ah itu berada, yaitu Iran. Sejak tumbangnya Syah Reza Pahlevi pada tahun 1979 melalui sebuah revolusi besar dan mendunia yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini. Sejak itu pula ajaran syi'ah menyebar ke berbagai negara. Gema jihad melawan kemunkaran dan kezholiman dari Iran ditransfer ke berbagai penjuru dunia. Sehingga mendapat sambutan luas dan respon positif dari berbagai kalangan di  berbagai belahan dunia dengan terbentuknya solidaritas muslim dunia yang secara moral mendukung gerakan tersebut.[29]
Dari sepak terjang gerakan tersebut ada hal yang menarik yang bisa membangun dan menumbuhkan rasa solidaritas dunia Islam tersebut, yaitu militansi ke-Islaman. Orang melihat bagaimana keadilan melawan kezholiman, kebenaran melawan kebathilan , kebaikan melawan kemunkaran, dan menang.
Akhirnya menyedot perhatian dunia Islam dan banyak orang menyanjung dan mengagumi sang pemimpin revolusi yaitu Ayatulloh Khomeini, dan mereka pun berharap dan berdo'a untuk kemajuan Islam dan kebangkitan kaum muslimin.
Banyak orang melihat bahwa revolusi Islam Iran pimpinan Khomeini ini sebagai tonggak kebangkitan Islam diabad 15 Hijriyah. Akhirnya banyak orang yang menutup mata atau meremehkan dan mengabaikan paham syi'ah dibalik gema gerakan tersebut, karena yang ditonjolkan adalah faktor keadilan versus kezholiman, kebenaran melawan kemunkaran, yang ditampakkan kepermukaan adalah issu pembelaan terhadap mustadh'afin (orang-orang tertindas), disamping issu penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (sekalipun bukan atau belum) telah menjadikan banyak orang dari kalangan muda dan sebagian tokoh-tokoh intelektual kita terkagum-kagum dan menjadi pemuja Iran dan pemimpinnya Khomeini seperti halnya Amien Rais, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid dan lain-lain. (lihat Mengapa menolak syi'ah hal.132 dan seterusnya).
Gerakan syi'ah ini masuk ke Indonesia ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok yang ditengarai berbagai kalangan mengarah ke gerakan syi'ah seperti halnya di Iran, atau muncul gema gerakan syi'ah yang dihembuskan tokoh-tokoh Iran yang sengaja disebar untuk mengekspor Revolusi Iran itu keberbagai penjuru dunia.[30]
Perkembangan Syi'ah atau yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait di Indonesia ini cukup pesat. Sejumlah lembaga yang berbentuk pesantren maupun yayasan didirikan di beberapa kota di Indonesia seperti, Jakarta, Bandung, Pekalongan, Bangil, Lampung dan lain sebagainya. Dan membanjirnya buku-buku tentang syi'ah yang sengaja diterbitkan oleh para penerbitnya yang memang berindikasi syi'ah atau lewat media massa, ceramah-ceramah agama dan lewat pendidikan dan pengkaderan di pusat-pusat dan majelis-majelis ta'lim. Gerakan mereka bervariasi, ada yang begitu agresif dalam menda'wahkan ke syi'ahannya dan ada juga yang biasa-biasa saja dan ada juga yang lambat. Ada yang begitu frontal dan ada juga yang begitu sensitif.
Disisi lain banyak pula tokoh-tokoh Islam dinegeri ini yang sudah terpengaruh paham syi'ah ini ikut serta menda'wahkan paham ini dan mengajak kaum muslimin untuk memperkecil perbedaan dan perselisihan, bahkan ada yang terang-terangan pasang badan untuk membela syi'ah, seperti yang dilakukan Said Aqiel Siradj, wakil katib syuriah PBNU yang pernah digugat sejumlah kyai dan pemimpin NU, karena aktivitas propaganda syi'ahnya. Ia mengatakan seperti dikutip Panji Mas No. 29 tahun 1-3 November 1997, "Menghadapi serangan terhadap Syi'ah, tak perlu ulama syi'ah turun tangan, cukup saya dan Gus Dur dari NU, Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Pak Amien Rais dari Muhammadiyah, yang melakukan pembelaan" katanya saat menjadi pembicara dalam acara Do'a Kumail (acara khas syi'ah) digedung Darul Aitam Tanah Abang, Jakarta. Sehingga tanpa disadari lambat tapi pasti, Ahlus Sunnah yang merupakan keyakinan mayoritas penduduk negeri ini digiring untuk mengikuti dan mendukung kebatilan yang ada pada ajaran syi'ah tersebut. Respon yang luar biasa juga terhadap da'wah dan ajakan para propagandis Syi'ah ini banyak ditunjukan oleh kalangan kampus terutama mahasiswanya dan kalangan awam Ahlus Sunnah, hingga banyak diantara mereka yang sudah terasuki paham aliran ini. Dan yang menarik bagi mereka tentunya karena ada kawin kontraknya (nikah mut'ah).[31]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Syi’ah adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad Saw. atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Syi’ah mulai muncul pada akhir pemerintahan Usman bin ‘Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Akidah Syi'ah & Prinsip Dalam Syari'at Sebagaimana Sunni, Syi'ah juga memiliki prinsip dasar dalam teologinya. Dalam hal ini, Syi'ah mempunyai lima dasar, yakni Tauhid (sifat peng-Esaan Allah), Keadilan (Allah Maha Adil, dan manusia bebas berbuat apa saja, yang nanti akan diminta pertanggungjawaban), An-Nubuwwah (Kenabian), Imamah (dua belas Imam), Eskatologi -Ma'ad- (Hari Kiamat). Landasan pengambilan hukum Syi'ah yaitu memiliki dua argumentasi; Ijtihadiy (berdasarkan keyakinan personal), dan Yuresprudensial (hukum fiqih). Adapun sebagai sumber hukumnya Syi'ah berlandaskan pada Al-Qur'an, Sunnah atau hadits, termasuk hadist-nya para Imam, Ijma' (kesepakatan), dan Aqal (argumentasi demontratif).



DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Abu Abdillah, Lc., Syi’ah di Indonesia, Diakses melalui situs: http://www.islam-indo.org/aliran-pemikiran/syiah/syiah.html?lang=, Tanggal 10 April 2010.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 2004.
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta: Kalam  Mulia, 2001.
Index, Tokoh-tokoh Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/01.htm, Tanggal 10 April 2010.
Sayyid Mujtaba Musawi al-Lari, Teologi Islam Syi’ah: Kajian Tekstual-Rasional Prinsip-Prinsip Islam, Jakarta: Al-Huda, 2004.
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006.
Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara,1998.


[1] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Kalam  Mulia, 2001), hal.  125-126.
[2] Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hal. 89.
[3]Sayyid Mujtaba Musawi al-Lari, Teologi Islam Syi’ah: Kajian Tekstual-Rasional Prinsip-Prinsip Islam, (Jakarta: Al-Huda, 2004), hal. 313-314.

[4] Sayyid Mujtaba Musawi al-Lari, Teologi Islam Syi’ah…, hal. 314.
[5]Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam,…, hal. 90.
[6]Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam,…, hal. 91-92.
 [7]Abu Qudamah As-Sunni, Menelusuri Kontroversi Ajaran Syi’ah, Diakses melalui situs:http://www.wahdah.or.id/wis/images/stories/MENELUSURI%20KONTOVERSI%20AJARAN%20SYIAH.pdf, Tanggal 01 Desember 2010.
[8]Abu Qudamah As-Sunni, Menelusuri Kontroversi Ajaran Syi’ah, Diakses melalui situs:http://www.wahdah.or.id/wis/images/stories/MENELUSURI%20KONTOVERSI%20AJARAN%20SYIAH.pdf, Tanggal 01 Desember 2010.
[9]Index, Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/3.htm, Tanggal 01 Desember  2010.
[10]Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara Keduanya, (Jakarta: Bumi Aksara,1998), hal. 62.
[11]Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006), hal. 122.
[12]Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, hal. 63.
[13]Index, Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/3.htm, Tanggal 10 April 2010.

[14]Index, Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/3.htm, Tanggal 01 Desember  2010.

[15]Index, Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/3.htm, Tanggal 01 Desember 2010.
[16]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 2004), hal. 89.
[17]Index, Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/3.htm, Tanggal 01 Desember  2010.

[18]Index, Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/moarrefi/3.htm, Tanggal 01 Desember  2010.
[19] Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, hal. 63-64.

[20]Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah…, hal. 63-64.
[21] Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, …, hal. 94-96
[22]Abdul Rozak, Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, …, hal. 94-96.
[23]Index, Tokoh-tokoh Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/01.htm, Tanggal 01 Desember  2010.

[24]Index, Tokoh-tokoh Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/01.htm, Tanggal 10 April 2010.

[25]Index, Tokoh-tokoh Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/01.htm, Tanggal 10 April 2010.

[26]Index, Tokoh-tokoh Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/01.htm, Tanggal 10 April 2010.

[27]Index, Tokoh-tokoh Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/01.htm, Tanggal 10 April 2010.

[28]Index, Tokoh-tokoh Syi’ah, Diakses melalui situs: http://www.al-shia.org/html/id/shia/bozorgan/01.htm, Tanggal 10 April 2010.

[29]Abu Abdillah, Lc., Syi’ah di Indonesia, Diakses melalui situs: http://www.islam-indo.org/aliran-pemikiran/syiah/syiah.html?lang= , Tanggal 10 April 2010.
[30]Abu Abdillah, Lc., Syi’ah di Indonesia, Diakses melalui situs: http://www.islam-indo.org/aliran-pemikiran/syiah/syiah.html?lang= , Tanggal 10 April 2010.
[31]Abu Abdillah, Lc., Syi’ah di Indonesia, Diakses melalui situs: http://www.islam-indo.org/aliran-pemikiran/syiah/syiah.html?lang= , Tanggal 10 April 2010.