Mengintip Cicempala di Alam Bebas Wuhan

SEBAGAI seorang pencinta alam, tentu saja saya merasa nyaman dan senang melihat perkembangan Tiongkok atau Cina, negara padat penduduk dan sedang maju pembangunannya, tapi sangat mempedulikan alam sekitarnya.

Pemerintah setempat sangat memperhatikan lingkungan hijau dan membiarkan burung-burung hidup bebas di tengah-tengah kota yang sedang berkembang ini. Setiap hari terdengar kicau dan siulan aneka burung di sana-sini. Sungguh membuat hati saya senang dan bahagia. Burung-burung yang bersiul merdu membuat manusia yang mendengarnya seperti terhipnotis, terlena, dan terpukau.

Di Wuhan ini, burung-burung hidup bebas dan berinteraksi sangat dekat dengan manusia. Bahkan sangat banyak burung terlihat bermain dan mencari makan di perumahan penduduk. Mereka bagai tak takut ditangkap karena memang selama ini hampir tak ada warga Wuhan yang tega menangkap burung dari alam bebas untuk kemudian mereka kurung dengan merenggut kebebasan mereka.

Kebahagiaan bagi burung ialah saat bisa terbang ke mana-mana dan bisa menari juga bernyanyi sesuka hati tanpa gangguan manusia ataupun makhluk lainnya. Salah satu jenis burung yang paling banyak di Wuhan ini adalah kucica kampung atau lebih dikenal dengan burung kacer. Orang Aceh menyebut burung bertubuh gempal ini dengan cicempala.

Kucica kampung adalah salah satu jenis burung pengicau kecil yang sebelumnya dikelompokkan sebagai anggota keluarga Turdidae (murai). Tapi kini kacer dianggap sebagai anggota keluarga Muscicapidae. Burung ini berwarna hitam dan putih dengan ekor yang panjang. Banyak ditemukan di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Indonesia burung ini mulai langka karena penangkapan yang berlebihan untuk dipelihara. 

Burung kacer terbilang sangat aktif mencari makan. Mulai dari pohon kelapa, randu, pisang, hingga ke ranting pohon kering. Burung ini terlihat sendiri, tapi akan selalu bersama pasangannya pada saat musim kawin. Tidak hanya kacer yang sangat banyak di sini, tapi juga banyak jenis burung lainnya yang masih bisa hidup bebas terbang ke sana-kemari sebagai burung seutuhnya, tanpa gangguan manusia. Warga Tiongkok seperti tidak tertarik menjadikan burung-burung yang indah ini berada di dalam sangkar indah mereka. Mereka justru lebih ingin burung tersebut terbang bebas di alam terbuka yang bisa mereka saksikan setiap hari saat mereka berjalan ke mana saja. 

Kerindangan pohon-pohon besar dan kecil salah satu alasan mengapa burung kacer ini menjadi betah dan menetap di pohon-pohon yang tumbuh sangat baik dan sangat dijaga oleh Pemerintah Tiongkok. Penguasa di sini sangat serius melakukan penghijauan. Program ini jelas bukan cuma manusia yang mengambil manfaatnya, tetapi juga sangat bermanfaat bagi alam dan binatang lainnya yang memilih hidup di antara perumahan warga.

Kepedulian dan perhatiaan yang diberikan oleh masyarakat dengan tidak menangkap burung-burung tersebut membuat suasana tempat tinggal masyarakat Tiongkok lebih hidup dan indah. Semoga sisi baik rakyat Tiongkok ini bisa kita contoh dan kita aplikasikan dalam kehidupan kita di Aceh dengan tidak sewenang-wenang menangkap burung di sekitar kita, lalu memasung kebebasan mereka di dalam sangkar (cintra). Dikurung di sangkar emas sekalipun, bagi burung-burung tersebut, hidup di alam bebas jauh lebih nikmat dan bermartabat.

*Helmi Suardi, Alumnus MIN Seuneubok Padang Kec. Teunom Aceh Jaya, Penerima Beasiswa China Scholarchip Council ( CSC ) sedang ikut Program Magister di Huazhong University of Science and Technology
 


Pernah diposting di Serambi Indonesia
Dan juga di posting di Lintasgayo.co “Mengintip Kucica Kampung di Alam Bebas Kota Wuhan”



EmoticonEmoticon